Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Rupanya Kamu

Jangan tertawai aku, sekarang dari kejauhan, kamu dengan senyum sarkasmu itu. Tertawa ringan dengan nada mengejek. Aku dengan sisi liarku, dan kamu dengan sisi lembutmu. Aku dengan ketidakpedulianku dengan apapun, dan kamu dengan sifatmu yang menjagaku untuk sekedar peduli dengan diriku sendiri. Aku tak pernah menoleh ke arahmu, namun kau yang tetap mau peduli denganku apapun yang kuminta kamu untuk memperdulikanku. Hanya saat aku kembali memintamu untuk peduli, lagi-lagi dengan senyum lembut yang penuh tanda tanya itu. Ia memanggilku, untuk berbincang dan mendengarkan nada lembut yang selalu keluar dari bergeraknya bibirmu itu. Setiap dan setiap saat, aku mencoba berbincang denganmu. Bibirmu selalu menyambut ucapan pembukaku dengan senyum yang lebar merekah, dengan tatapan dan dagu sedikit menunduk teduh . Aku terkesima. Hanya saja aku tak bisa membalasnya. Kalau ada harga yang bisa kubayar, katakan saja. Namun kamu pantas untuk laki-laki dengan kehormatan lebih dari ak

Kamu-ku

Kamu api unggunku, yang menjadi tempatku menjatuhkan penat yang teramat pekat. Menumpas lelahnya rutinitas yang semakin keparat. Mengubahnya menjadi bara api penyemangat, hangat. Kamu hujanku, yang mana saat segala suasana pecah mengering. Tetesmu mengusap letih dan kakunya raga lelahku. Membirukan isi kepala yang tersumbat karena pening. Mengalirkan peluh keringat dari kusamnya lekuk wajah, menjadi sumringah, cerah. Kamu lautku, yang dengan bebasnya aku meneriakkan keluhan-keluhanku. Yang selalu balut dengan sisi kuatku, dan kuhempaskan sekarang padamu . Sambil menangis memekik, mengigau, meracau. Kamu awanku, yang setiap hari kuharap-harap keteduhannya. Melindungiku dalam temaram bayang kelabumu. Menghindarkanku dari tersengatnya kalbu oleh panas yang tak perlu. Hingga akhirnya kurebahkan tubuhku, menoreh ke atas, lalu melagu. Kamu tulisanku, yang kususun dengan teliti. Ku ukir semestaku aksara per aksara.  Diatas selembar kertas dalam diari. Lalu kusimpan disetiap

Kaki untuk kembali

Aku akan bercerita tentang kakiku, yang tak pernah tahan untuk berhenti melangkah ke tempat yang baru. Ia mudah bosan, mudah muak dengan kemonotonan. Sulit sekali menenangkan, makanya ia sering kutawarkan janji-janji, bahwa disuatu hari akan kuajak ia pergi kepelosok negeri. Barulah ia tenang dan mencoba mengerti. Dalam beberapa hal aku setuju dengannya, bahwa rutinitas itu memang sangat membosankan. Tapi begitu yang orang-orang selalu lakukan, dan terasa sangat aneh kalau arusnya kulawan. Bahkan orang-orang yang berhasil melakukan rutinitas dengan baik , akan dapat predikat baik dikelasnya. Lalu orang-orang mulai menilai bahwa rutinitas itu baik dan perlu. Disisi lain orang yang keluar dari kemonotonan itu dikecam. Dianggap orang-orang penista kebiasaan. Kakiku membawaku menuju banyak hal. Ia membawaku kepada orang baru, ke tempat-tempat baru, ke ujung-ujung daratan bahkan mendorongku menyelami lautan. Ia membawaku kepada kebaikan-kebaikan baru. Ia membawaku menjadi pribadi