Kaki untuk kembali


Aku akan bercerita tentang kakiku, yang tak pernah tahan untuk berhenti melangkah ke tempat yang baru. Ia mudah bosan, mudah muak dengan kemonotonan. Sulit sekali menenangkan, makanya ia sering kutawarkan janji-janji, bahwa disuatu hari akan kuajak ia pergi kepelosok negeri. Barulah ia tenang dan mencoba mengerti.

Dalam beberapa hal aku setuju dengannya, bahwa rutinitas itu memang sangat membosankan. Tapi begitu yang orang-orang selalu lakukan, dan terasa sangat aneh kalau arusnya kulawan. Bahkan orang-orang yang berhasil melakukan rutinitas dengan baik , akan dapat predikat baik dikelasnya. Lalu orang-orang mulai menilai bahwa rutinitas itu baik dan perlu. Disisi lain orang yang keluar dari kemonotonan itu dikecam. Dianggap orang-orang penista kebiasaan.

Kakiku membawaku menuju banyak hal. Ia membawaku kepada orang baru, ke tempat-tempat baru, ke ujung-ujung daratan bahkan mendorongku menyelami lautan. Ia membawaku kepada kebaikan-kebaikan baru. Ia membawaku menjadi pribadi baru dengan ruang lingkup pola pikir yang semakin meluas. Dengan hati yang lebih terbuka dalam menanggapi keanehan kehidupan.

Kakiku mengantarkanku, untuk keluar dari frame usang yang lama mengkotakkan jalan pikiranku. Dan mulai mengajarkanku dengan akumulasi kearifan yang baru. Agar aku tak jadi orang yang itu-itu saja. Orang yang terprogram untuk menjalani monotoni dan berakhir dengan cara yang biasa, ironi. Ia mengantarkanku untuk menulis cerita, melakukan drama dan memprasastikannya setelah nanti aku tiada.

Kakiku membantuku mencerna maksud Tuhan, tentang kompleksitas semesta beserta isinya. Dan menyadari bahwa kita hanya mikroorganisme melata di muka bumi yang mencari pundi-pundi kemurahan Tuhannya di atas hamparan tanah ciptaanNya.

Kakiku yang memaksa pergi jauh, ketempat-tempat aku mengaduh dan mengeluh. Atas panjangnya perjalanan kehidupan yang harus kutempuh. Mengingatkan, rumah akan merinduku didalamnya. Dan rumah, adalah sebaik-baiknya tempat untuk kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu