Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Pergi Sejenak.

21/01/2018 Tulisanku semakin membumi. Sadar tak sadar kita hidup dalam monotonisme yang tinggi. Menghilangkan jati diri, bermuka banyak dan entah kenapa kita berorientasi pada mayoritas. Mengikuti arus utama dan terseret entah kemana. Karakter dibunuh social media, mengesankan orang lain lebih penting daripada menikmati hidup sendiri. Kesana kemari, untuk eksistensi. Dikampus selalu ada persoalan yang entah kenapa semenjak bangunan berdiri dan baru rampung proses awal administrasi tak pernah usai, anehnya persoalan diturun-temurunkan, dipermasalahkan lalu ditinggalkan, kemudian dibebankan kepada yang sedang memegang jabatan. Yang peduli berlebih digolongkan aktivis, yang tak peduli digolongkan apatis. Selalu ada dinding pemisah, antara manusia dan manusia lain. Lucunya, kita senang digolongkan dan merasa bergolongan. Merasa bangga karena punya pendirian. Katanya. Di luar kampus , Muda-mudi selalu berselisih perihal cinta, itu-itu saja bahasannya. Bergalau-galau ria, la

Di Sudut Kafe

06/01/2018 Semua tempat untuk meneguk kopi dan mengendap rindu. Bisa kusebut kafe. Tentu saja kafe versiku. Hari-hari kini berjalan begitu padat, semua terasa singkat. Jogja sudah terasa mendekati metropolitan, penuh dengan ambisi yang berdesakan, kehilangan keramahan. Pendatang tidak tertular kearifan, malah termakan individualisme dan cenderung saling membiarkan. Tujuan Jogja untuk saling mendekatkan malah justru sekarang membedakan, mengkotakkan. Mungkin karena, masing-masing punya tujuan. Namun aku masih yakin, bubuk kepositifan masih pekat di Jogja. Tinggal diseduh dengan takaran yang pas, dan disuguhkan dengan penuh senyuman. Dengan begitu, Jogja takkan pernah terlupakan dan selalu berkesan. Ada salah satu sudut yang paling kufavoritkan di Kota Pengendap Rindu ini. Di sudut kafe favoritku, dengan satu bangku dan meja yang hanya pas untuk satu orang. Bangku yang menghadap ke arah barat, dan jika matahari jatuh di ufuk sana. Mataku dengan jelas dapat menangkap senja. S

Sebuah Memo Yang Kau Ukir

02/01/2018 Lembar kedua. Di satu memo panjang berjudul 2018. Bagi mereka sesuatu yang baru, Bagiku sama pun tak apa. Jutaan momen yang kuukir di memo sebelumnya kini sudah kadaluarsa. Dan kubukukan bersama memo-memo lain yang pernah kutulis diwaktu-waktu yang sebelumnya, akan kujadikan referensi. Dalam mengukir ukiran baru dalam memo kali ini. Di memo kali ini aku yakin, ukiranku akan semakin semrawut. Dengan banyak sobekan dan coretan. Banyak pengoreksian dan justifikasi orang yang memaksa ingin mengukirkan pikirannya di memoku. Banyak warna yang akan hilang, dan berubah menjadi hitam putih penuh keteraturan. Percikan warna yang dulu aku lukis akan sirna, dan kurasa takkan ada lagi warna-warni itu. Karena itu aku rindu ukiranmu, waktu kupersilahkan kamu mengukir ukiran dalam memo yang lalu. Dengan percikan warna dan tujuh kata yang kamu ukir dengan tinta hitam itu. Aku hidup sampai selesai tenggat waktu penulisan memo yang lalu. Dengan semangat, sampai semua telah berla