Pergi Sejenak.

21/01/2018

Tulisanku semakin membumi.

Sadar tak sadar kita hidup dalam monotonisme yang tinggi. Menghilangkan jati diri, bermuka banyak dan entah kenapa kita berorientasi pada mayoritas. Mengikuti arus utama dan terseret entah kemana. Karakter dibunuh social media, mengesankan orang lain lebih penting daripada menikmati hidup sendiri. Kesana kemari, untuk eksistensi.

Dikampus selalu ada persoalan yang entah kenapa semenjak bangunan berdiri dan baru rampung proses awal administrasi tak pernah usai, anehnya persoalan diturun-temurunkan, dipermasalahkan lalu ditinggalkan, kemudian dibebankan kepada yang sedang memegang jabatan. Yang peduli berlebih digolongkan aktivis, yang tak peduli digolongkan apatis. Selalu ada dinding pemisah, antara manusia dan manusia lain. Lucunya, kita senang digolongkan dan merasa bergolongan. Merasa bangga karena punya pendirian. Katanya.

Di luar kampus , Muda-mudi selalu berselisih perihal cinta, itu-itu saja bahasannya. Bergalau-galau ria, lagi-lagi di social media. Yang berpasangan mengumbar kemesraannya, yang tidak berpasangan memotivasi diri sendiri dengan kalimat bijak buatan orang yang secara bahasa dan pemaknaan belum tentu dimengerti. Yang penting orang-orang tahu, bahwa kita layak diketahui keadaannya.

Negara semakin semrawut, panggung demokrasi dihancurkan politisi. Merumuskan ketetapan yang bahkan rakyat tidak mengerti. Rakyat hanya tau ujung-ujungnya berakhir dengan korupsi dan kolusi. Sementara banyak yang susah makan dan tidur diselokan. Tangan-tangan besar bermain-main diatas negara,  bekuasa bak Tuhan. 

Tak bisakah setiap hari bangun pagi lalu menyeduh teh sambil bernyanyi di teras rumah, kemudian mengemas perlengkapan pergi jauh dari peradaban, berkemah di antah berantah tanpa memikirkan pulang dan pura-pura melupakan semuanya. Walau sejenak?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu