Di Sudut Kafe

06/01/2018

Semua tempat untuk meneguk kopi dan mengendap rindu.
Bisa kusebut kafe. Tentu saja kafe versiku.

Hari-hari kini berjalan begitu padat, semua terasa singkat. Jogja sudah terasa mendekati metropolitan, penuh dengan ambisi yang berdesakan, kehilangan keramahan. Pendatang tidak tertular kearifan, malah termakan individualisme dan cenderung saling membiarkan. Tujuan Jogja untuk saling mendekatkan malah justru sekarang membedakan, mengkotakkan. Mungkin karena, masing-masing punya tujuan. Namun aku masih yakin, bubuk kepositifan masih pekat di Jogja. Tinggal diseduh dengan takaran yang pas, dan disuguhkan dengan penuh senyuman. Dengan begitu, Jogja takkan pernah terlupakan dan selalu berkesan.

Ada salah satu sudut yang paling kufavoritkan di Kota Pengendap Rindu ini. Di sudut kafe favoritku, dengan satu bangku dan meja yang hanya pas untuk satu orang. Bangku yang menghadap ke arah barat, dan jika matahari jatuh di ufuk sana. Mataku dengan jelas dapat menangkap senja. Singkat cerita. 30 bulan aku menempuh hidup sebagai pejuang diantara ribuan pejuang lain di Jogja. Aku memupuk segalanya, didasar gelas. Segalanya mengendap. Cerita, cinta dan jutaan aksara.

Termasuk cerita tentangmu yang kutenggelamkan di dasar kopi. Sering kudiskusikan kamu, sambil menunggu bubuk itu mengendap. Kuceritakan dengan detail, setiap inci dari imajinasiku, dengan rinci dan senandung lagu. Sambil mengharap kau akan datang hari ini, dengan segala perangkat yang kau gunakan untuk menyelesaikan urusan yang sedang tenggat.

Kamu disudut ruangan yang lain, dan aku yang selalu menatap dengan perasaan ingin. Kutatap wajah yang penuh ambisi, acuan, capaian , sasaran dan harapan masa depan. Banyak yang kusayangkan, wajah semanis itu perlu di relaksasikan. Dengan sedikit gurauan dan candaan. Atau sekedar pergi jauh meninggalkan tekanan. Lebih baiknya lagi pergi denganku.

Kita berkenalan, disituasi yang tidak memungkinkan. Merajut asa dan bercerita tentang cita-cita. kau menawarkan mimpi-mimpimu dan aku menawarkan perjalanan-perjalananku. Dan perkenalan berlanjut menjadi harap akan saling mencinta dan berbalas cinta. Walau realita berkata untuk saling menunggu, sampai waktu yang tak tentu.

Namun beginilah aku, terbuai redupnya lampu-lampu di Jogja dan terjebak di sudut kafe tempat pertama kali kita bertemu. Menulis tentangmu. Dan mengeluh tentang resahku. Walau kamu belum tentu tahu, tentang aku dan susahku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu