Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2019

Kita, Abadi?

Suatu malam seorang tuan bersimpuh didepan tulisannya, membaca ulang curahannya. Tuan biasa membunuh waktu dengan menulis apa yang melintas, meringkas apa yang terlintas. Berbagai hal ikut memberikan kesaksian akan kata-kata yang tertuang : bintang-bintang, bulan, awan malam, rasa kantuk, kopi, anggur dan banyak tembakau. Ia menulis tentang banyak rasa, tentang banyak peristiwa, tentang logika, tentang asmara, tentang angan, tentang puan. Puan selalu terang dalam temaram, tuan tak menganggap gelap itu suram. Hitam malah menenangkan, puan terang karena dibungkus bayangan. Bintang yang jauh tetap indah dipandang bukan karena memancarkan cahaya, karena langit malam memeluknya erat dengan kegelapan. Tak apakan Tuan menghiperbolakan?  Tuan menemukan bahwa menulis adalah keabadian. Kata-kata akan tetap ada bahkan dipertanggung jawabkan di surga, menulis berarti mengabadikan sesuatu didalamnya. Makanya ia menulis tentang puannya, tentang cara juang anehnya, kata teman-temannya. Namu

Pergi.

Disebuah dimensi tak bertepi, ada sebongkah hati yang mengaduh tentang jarak yang sebentar lagi akan jauh. Ada puan yang merambisi pergi jauh, ada dunia yang hendak tuan rengkuh. Selama merajut rasa tuan tak pernah berterus terang, puan tak pernah ada keterangan. Puan selalu dibayangi pertanyaan-pertanyaan, sementara tuan sibuk untuk dapat memastikan. Tuan selalu merasa ada ketidakpantasan dalam menyatakan, puan selalu membuka ruang dan berharap diterangkan. Lalu ketika waktu semakin tenggat tuan bimbang, memberikan keterangan pada puan atau... langsung memastikan di waktu yang akan datang. Namun tuan tak percaya kepada waktu, sebesar ketidak percayaannya terhadap diri tuan sendiri. Tuan selalu berspekulasi bahwa waktu dapat menggerus rasa cinta puan, sebagaimana seorang puan, ia butuh kepastian di umur yang semakin matang. Tuan hanya punya keyakinan bahwa, yang ia perjuangkan bukan seorang gampangan, usahanya harus lebih dari sederhana apalagi sembarangan. Tuan berusaha pergi ke

Jalanku, bukan kalian.

Senin, dini hari. Fase yang paling berkecamuk akan datang, waktu dimana tanggapan orang terasa tajam dan menusuk. Momen dimana rasa ketidakpercayaan atas kemampuan diri dan merasa tak sebanding akan pencapaian-pencapaian orang. Hari esok akan lebih berat. Aku berkata pada hati kecilku, masa depanku, harus tetap pada idealismeku, harus tetap pada standarku, harus tetap pada jalanku. Aku akan menetapkan, mulai hari ini, aku akan hidup dengan caraku, bukan dengan cara lingkunganku, orang tuaku, atasanku, atau bahkan cara kalian. Jalan terjal yang kutempuh, tak ada pengaruhnya dengan hidup mereka. Komentator pemain sepakbola tetap tak akan merubah alur permainan, tak akan mengubah operan dan umpan, apa lagi mengubah kalah menang. Lalu biar saja, jalan mereka bisa jadi lebih landai, tapi kuyakin puncakku lebih tinggi. Aku tak ingin terbiasa mengeluh, lagi pula mengeluhku juga urusanku, tak perlu kukeluhkan semuanya agar orang tau. Mengharap simpati dan memaksa ingin dimengerti teras

Bisakah?

Aku berencana, namun bisakah? Aku berencana menemuimu setelah semua tuntutan rupiah bisa kupenuhi, aku akan datang dengan langkah yang yakin, mengetuk pintu rumahmu dengan tegas dan memasang badan dengan gagah dihadapan ayahmu. Aku akan mengajukan proposal, tentang konsep dan panduan teknis jatuh cintaku untuk membawamu ke waktu yang tak hingga itu. Aku akan berkata lantang layaknya seorang ksatria yang jatuh cinta kepada permaisuri dari seorang raja. Aku akan menjabat tangan ayahmu dan menyatakan kesanggupan. Aku berencana menjaga kekagumanku seperti saat pertama kali aku melihatmu di perempatan jalan  dulu. Aku ingin setelah kita bersama nanti, aku bisa tetap gugup memandang matamu, bibirku akan tetap bergetar ketika hendak berbicara denganmu dan akan selalu salah tingkah. Lalu jangan salahkan aku ketika aku terlalu berkeringat ketika menggenggam tanganmu. Dan tolong ketika aku mengajakmu ke tempat makan siang, jangan katakan terserah untuk dimana dan makan apa. Aku manusia mi