Jalanku, bukan kalian.


Senin, dini hari.

Fase yang paling berkecamuk akan datang, waktu dimana tanggapan orang terasa tajam dan menusuk. Momen dimana rasa ketidakpercayaan atas kemampuan diri dan merasa tak sebanding akan pencapaian-pencapaian orang. Hari esok akan lebih berat. Aku berkata pada hati kecilku, masa depanku, harus tetap pada idealismeku, harus tetap pada standarku, harus tetap pada jalanku. Aku akan menetapkan, mulai hari ini, aku akan hidup dengan caraku, bukan dengan cara lingkunganku, orang tuaku, atasanku, atau bahkan cara kalian.

Jalan terjal yang kutempuh, tak ada pengaruhnya dengan hidup mereka. Komentator pemain sepakbola tetap tak akan merubah alur permainan, tak akan mengubah operan dan umpan, apa lagi mengubah kalah menang. Lalu biar saja, jalan mereka bisa jadi lebih landai, tapi kuyakin puncakku lebih tinggi. Aku tak ingin terbiasa mengeluh, lagi pula mengeluhku juga urusanku, tak perlu kukeluhkan semuanya agar orang tau. Mengharap simpati dan memaksa ingin dimengerti terasa sangat lemah. Kalau aku butuh menangis maka menangislah.

Pembuktianku akan datang pada waktunya, aku tak pernah punya ambisi menjadi yang pertama dalam akademik, menjadi yang pertama dalam urusan organisasi atau kelembagaan. Tahapan berkuliah adalah tahapan pencarian. Namun setelah itu, pembuktian adalah tujuanku. Aku tak ingin sesumbar omong kosong, aku akan menjadi penyelesai, aku bukan orang biasa.

Jalanku akan kutempuh dengan caraku, biar terjal mendaki dan berkelok-kelok. Itu tetap jalanku dan aku tak akan mengharapkan jalan yang lebih mudah. Aku hanya akan mengusahakan untuk terbiasa jalan di jalan penuh dengan batu runcing dan terjal itu. Dengan begitu, aku lebih kuat.

Jalanku, aku yang tentukan.
Bukan kalian.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu