Tanah Air (versi) Beta


Aku tinggal di atas tanah yang subur kata orang-orang di luar sana. Diatas tanah penuh keragaman dan perbedaan, disebut-sebut bagai permata yang tersohor di tengah khatulistiwa. Aku tinggal dimana seluruh melankoli kehidupan terjadi. 

Aku tinggal dimana padi sangat dicintai para petani. Mereka sudah keluar dari rumah-rumah mereka membawa cangkul dan arit. Berjalan dipelukan kabut fajar, di jalan-jalan yang belum teraspal. Mereka melangkah dipematang sawah, berhias senyum. Merawat padi bak anak sendiri.

Aku tinggal dimana untuk sekolah, anak-anak harus menyebrang sungai, rawa-rawa atau bahkan lautan. Untuk sekadar bertemu ibu guru dan kawan-kawan, puluhan kilo pun ditempuh untuk mengenyam pendidikan. Ini bukan kejam, tapi inilah kesungguhan.

Aku tinggal dimana matahari dan hujan hadir setiap setengah setahun, memberi iklim senyum pagi para penantinya. Kala variasi cuaca dan iklim memberi pengaruh besar pada keberlangsungan hidup kami, hutan kami, laut kami dan rumah kami.

Aku tinggal dimana pepohonan menyelimuti isi daratan, membuatnya kehijauan ketika dipandang langit. Dimana pepohonan menjadi bahan bakar, bahan bangunan, bahan makanan dan bahan kehidupan bagi setiap mahluk yang ada di kepulauan ini.

Aku tinggal dimana lautan terhampar luas dipantai kami, ketika kami pandang tepi pantai akan tegak lurus sampai ke horison. Hingga tampak tempat bangun dan tidurnya mentari, dan kapal-kapal yang nantinya akan singgah ke pantai kami.

Aku tinggal dimana gunung-gunung menghujam langit disetiap kepulauan, mulai dari sumatra sampai papua, Tuhan telah  mengokohkan bumi kami dengan gunung-gunung sebagai penjaga dan utusan tanah ini.

Aku tinggal dimana ikan dilautan bersahabat dengan nelayan. Setiap melempar jala, jaring dan umpan. Ikan-ikan menyambut kedatangan tuan nelayan, menyambut kail agar bisa dibawa pulang untuk memberi makan anak-istri tuan nelayan.

Aku tinggal dimana bumi memberikan isinya pada rakyat, mulai dari emas, perak, tembaga, batubara dan lainnya. Kami merasa kaya, dengan entengnya. Mungkin tanah ini diberkahi semesta, dengan pundi-pundi kekayaan sumber daya alamnya. 

Aku tinggal dimana pedesaan lebih memakmurkan nurani, dari pada kapitalisnya kota metropolitan. Dimana kemajemukan dan kesederhanaan lebih mengajarkan kebijaksanaan. Bukan hanya sejuk cuaca tapi sejuk berkat atmosfer senyum para penduduk desa.

Aku tinggal dimana momen besar terjadi karena hal kecil, seperti saat saling melempar senyum, saat seorang anak mencium tangan orang tuanya sebelum berangkat sekolah, saat seorang ayah memanggul anaknya dengan suka ria. Bahwa kesederhanaan itu ternyata memang mahal.

Aku tinggal dimana suatu tirani akan tumbang bila diperjuangkan, baik dengan pedang maupun lidah. Seperti masa otoriter , kolonialisme oleh belanda, perbudakan oleh jepang, koruptor-koruptor, orang-orang immoral yang menindas yang lemah. Tetap, suatu dinding akan runtuh dan lapuk kalau jutaan semut bersatu padu meruntuhkannya.

Aku tinggal dimana rakyat menjadi sentral dinamika kehidupan sosial, politik dan budaya. Dimana seluruh interaksi dan proses akan kembali kepada rakyat. Dimana rakyat yang menghidupkan lampu kesatupaduan dan keharmonisan.

Aku tinggal dimana pengorbanan bukanlah  hal kecil, tetapi suatu momen yang melegenda. Bahwa, pengorbanan akan total bila dilakukan secara universal. Apa saja bisa diraih dengan berkorban. Aku tinggal dimana pengorbanan akan dikenang sepanjang hayat.

Aku tinggal dimana kemenangan tidak diraih dengan peluru dan kendaraan lapis baja. Aku tinggal dimana kemenangan diraih oleh sebatang bambu yg diruncingkan dan dilumuri dengan semangat membara serta darah suci para pendekar pejuang kemerdekaan.

Aku tinggal dimana sepersekian detik dari hidup ini sangat berarti, aku tinggal dimana kesederhanaan berharga mahal, aku tinggal dimana perbedaan yang bersatu akan menciptakan kesatu-paduan yang kuat. Aku tinggal di negeri ini, dimana kuberjalan diatas tanahnya dan kuminum airnya. Maka wajar saja, kusebut negeri ini. Tanah Air-ku.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu