Sebaris Kalimat di Kain Lusuh Seorang Pecinta Alam.
Berawal dari pengalaman pribadi, bagiku yang lahir dari rahim seorang ibu dan dari keringat seorang ayah yang dahulu berkecimpung di dunia kepecintaalaman. Aku dibesarkan dengan kode etik dan attitude seorang pecinta alam.
Dalam merelealisasikan kepecintaalaman yang lebih terstruktur. Kini banyak organisasi ataupun perhimpunan pecinta alam. Di kampus-kampus, sekolah-sekolah atau perhimpunan pecinta alam di masyarakat. Sebagai contoh di sekolah-sekolah ada organisasi yang disebut Siswa Pecinta Alam (SISPALA) , di kampus-kampus disebut Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) maupun di masyarakat seperti WANADRI dan berbagai macam komunitas kepecintaalaman lainnya maupun mereka yang berjasa tanpa berlabel organisasi maupun komunitas.
Bagiku kepecintaalaman merupakan refleksi atas rasa syukur terhadap Pencipta. Tiada keistimewaan dari kami yang mengatas namakan diri kami seorang pecinta alam. Kamilah tanah, kamilah udara, kamilah air. Kami sadar bahwa kami juga berperan sebagai elemen pembetuk alam.
Dariku dan saudara penggiat kepecintaalaman di sudut-sudut indonesia. Izinkan kami bercerita tentang hari-hari kami.
“Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat, kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berati pula pertumbuhan jiwa yang sehat dan pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”-Soe Hok Gie.
Kami tak lain hanya sekumpulan orang penuh kelusuhan, tak berbalut baju kemeja nan rapih. Dalam tugas biasanya pakaian kami berlumpur-lumpur, kotor, bau keringat. Pakaian kami tak dihiasi atribut keemasan seperti pin yang menambah gagah perangai kami.
Hanya secarik slayer yang terkadang kami gunakan untuk mengusap luka dan keringat. Wajah kami tidaklah tampan selayaknya para eksekutif dan birokrat kampus. rambut kami berantakan tak pernah tersisir bahkan jauh dari kata pantas.
Muka kami tercoreng bekas tanah, arang, ada juga goresan kecil bekas sayatan ranting-ranting. Kami tak seperti kalian, menjual pencitraan dan kepalsuan. Ketidakteraturan kamilah bentuk dari keikhlasan dan pengabdian.
Petualangan bagi kami hanya rekreasi, jati diri kami yang sebenarnya adalah bagaimana kami menyumbang kebaikan dengan kebijaksanaan dan ideologi yang kami dapat dari perjalanan untuk ibu pertiwi.
Ketika badan lusuh kami sudah turun ke jalan-jalan, itu berarti ada yg tidak beres dengan negeri ini, ada yang salah dengan tata laksana pemerintahan, ada yang harus dibenahi dalam bermasyarakat.
Silahkan menilai dari rambut gondrong kami, dari celana lusuh sobek-sobek kami, dari bau badan kami, dari prestasi akademik kami. Tapi hanya Tuhan yang tahu kesungguhan seseorang dari lubuk hati.
Ini bukan masalah harga diri, kawan. Ini masalah toleransi dan simpati. Ini masalah memanusiakan manusia. Dan mengenal alam lewat alam.
Komentar
Posting Komentar