Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2018

Tumpuan

Pagi ini menyejukkan, lebih menuju dingin sebenarnya. Bagai seorang pesakitan, aku ringkih. Aku menangis, bersedih, depresi, stres dan khawatir. Realitas sangat kejam, karena sudah terbiasa sakit, mengaduh pun tak pernah kuungkapkan. Kutampilkan ke tidak pedulianku ke segala hal. Padahal aku memikirkan setiap detailnya dan bagaimana aku harus menyikapinya. Hanya kata-kata yang dapat kurangkai dalam beberapa paragraf, sambil kutekstualkan tangisanku. Mengaduh kepada siapapun kurasa tak perlu, mereka tak ada waktu untuk mendengarkan keluhan orang asing dan kuyakin mereka tak benar-benar peduli. Jadi kupilih jalan pelarian, meyakinkan diri bahwa diri sendirilah yang menentukan bahagia atau tidak, dan kulakukan perjalanan. Tak lain untuk melupakan kekhawatiran, dan menemukan diriku sendiri, yang sebenar-benarnya. Sendirian, bukan berarti tak ada yang mau menemani, tapi aku lebih nyaman begitu. Sendirian berarti memilih untuk sendiri, dan memuaskan egoku. Dan aku paham sekali re

Selamat Jatuh Cinta

Cerita tentangku, yang telah kalah. Naasnya ia cepat sekali mendeklarasikan labuhan barunya. Kekalahanku tampak gamblang dibuatnya. Perjuanganku rasanya tak berarti apa-apa sekarang. Selama aku gagal dan kalah, tak pernah sepecundang ini rasanya.  Tulisan ini kubuat dengan maksud memproklamasikan rasa, dalam tempo yang sesakit-sakitnya. "Aku, mewakili seluruh perasaan dan hiperbola yang pernah tumpah-ruah mendanau. Mewakili seluruh lagu-lagu dan untaian sajak puisi yang telah kau buat kacau. Mewakili doa-doa yang kuracau. Mewakili seluruh perjalanan dan petualangan yang ditolak 'rumah' untuk pulang dari rantau. Yang pada akhirnya hanya membuahkan patah hati dan risau. Dengan ini aku menyatakan : Selamat Jatuh Cinta" Dan kata terakhir yang kutangkap dari seluruh perilaku dan gerak-gerikmu mengatakan. "Selamat Merelakan"

Aku Kalah.

Pantas saja. Pikirku selama ini tak digubris olehmu. Ternyata ia yang kau agungkan lebih menarik dan lebih dapat menjaminmu di masa depanmu. Kuyakin bagimu, ia dapat membahagiakanmu dengan cara yang lebih nyata daripada aku, seseorang yang hanya dapat menjanjikan kata-kata dan membanggakan mimpi-mimpinya. Ia juga lebih pandai berpuisi dan merangkai kata bahkan sudah menjadi karya sastra yang terbit dan dijual di toko buku terkemuka. Puisinya mengundang popularitas dan menaikkan elektabilitas dirinya dibanding aku. Tapi hanya untuk kau tau, puisiku tak mencari popularitas. Ia bergerilya di ruang-ruang sempit, dengan banyak torehan sakit dan diciptakan hanya untukmu seorang. Bukan untuk khalayak, bukan untuk orang menyatakan puisiku layak. Puisiku lebih murni, yang tercipta dari hati yang koyak. Ia bahkan menuntut ilmu ditempat yang lebih bergengsi dari pada aku, lebih terpandang dimatamu dan kuyakin juga orang tuamu. Lebih dapat menaikkan derajatmu, lebih dapat menghidupi dan m

Karsa.

Mari menikmati anugrah cinta Sang Kuasa sesuai kehendak yg tertanam secara nyata. Aku ingin mencinta dengan saling bertukar senyum dan saling memandangi saat kita pergi ke pucuk-pucuk bukit untuk sekedar melihat awan atau lautan. Lalu menyadari kita adalah bagian dari komponen semesta yang padu dan sedang menyatakan untuk membaku menjadi satu. Sambil berpegangan tangan, mulai saling menaruh harapan dan melakukan beberapa persiapan untuk tantangan yang ada di depan. Aku ingin mencinta dengan menua bersama , dengan bahagia yang sederhana, apa adanya,  tanpa harus memikirkan gengsi untuk mengesankan manusia lainnya. Memprinsipkan diri bahwa bahagia hanya milik kita dan untuk kita. Dengan keyakinan asal berdua, tak peduli tujuannya kemana, tak peduli esok makan apa, mau mendaki atau menurun. Kita akan sampai ditujuan yang sama, yaitu kebahagiaan yang kita usahakan bersama. Aku ingin mencinta dengan menulis mimpi yang sama. Walau dengan cara berbeda sampai berpisah benua. Pad