Aku Kalah.

Pantas saja. Pikirku selama ini tak digubris olehmu. Ternyata ia yang kau agungkan lebih menarik dan lebih dapat menjaminmu di masa depanmu. Kuyakin bagimu, ia dapat membahagiakanmu dengan cara yang lebih nyata daripada aku, seseorang yang hanya dapat menjanjikan kata-kata dan membanggakan mimpi-mimpinya.

Ia juga lebih pandai berpuisi dan merangkai kata bahkan sudah menjadi karya sastra yang terbit dan dijual di toko buku terkemuka. Puisinya mengundang popularitas dan menaikkan elektabilitas dirinya dibanding aku. Tapi hanya untuk kau tau, puisiku tak mencari popularitas. Ia bergerilya di ruang-ruang sempit, dengan banyak torehan sakit dan diciptakan hanya untukmu seorang. Bukan untuk khalayak, bukan untuk orang menyatakan puisiku layak. Puisiku lebih murni, yang tercipta dari hati yang koyak.

Ia bahkan menuntut ilmu ditempat yang lebih bergengsi dari pada aku, lebih terpandang dimatamu dan kuyakin juga orang tuamu. Lebih dapat menaikkan derajatmu, lebih dapat menghidupi dan menunjang hari esokmu. Namun beginilah aku, menuntut ilmu di instistusi yang kalah bergengsinya dengan dirinya, bahkan aku mengambil jalan-jalan penuh konflik, dimana tanganku lebih banyak mengepal, mulutku lebih banyak memaki dan telingaku lebih sering tercaci. Aku menempuh jalan pemberontak, memperjuangkan dan mengakomodasi aspirasi, menjadi oposisi bagi mereka yang tak pernah peduli.

Seperti biasa aku hanya dapat menawarkan kata-kata indah yang tidak dapat di uangkan dan mimpi-mimpi yang masih belum berpondasi selain semangat dan optimisme. Kalau kau berorientasi pada proses, progres dan perjalanan, aku menawarkan tangan untuk kau genggam. Kalau kau berorientasi pada persiapan, kepastian dan masa depan.

aku mengaku kalah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu