Ekspektasimu.


Tentang kamu yang selalu mengeluhkanku.

Kamu selalu bercerita dengan segala mispersepsimu kalau kamu tak suka lelaki tipe begini, sambil menyebutkan keburukan-keburukan atau kebiasaan kurang baik yang belum bisa kutinggalkan. Lalu kamu memalingkan pandangan, berhenti memandangku sebagai kemungkinan.

Kamu mengidamkan lelaki sempurna sampai kamu lupa menyempurnakan diri. Sampai suatu saat kamu sadar lelaki sempurna itu tak ada dan dirimu tak mungkin bisa sempurna. Kenapa tidak kamu ubah saja ekspektasimu? 

Tak maukah kamu jatuh cinta dengan lelaki biasa dengan banyak kebiasaan yang tak kamu suka, lalu dengan rendah hati kamu membangunkannya, membantunya menemukan titik balik di hidupnya, membuat ia laki-laki seutuhnya. Membukakan mata bahwa ia menanggung beban berat sebagai lelaki, sebagai seseorang yang suatu saat mengemban keluarga atau bahkan bangsa.

Bukankah jatuh cinta itu saling membangun? Bukankah jatuh cinta itu proses? Apa ekspektasiku kontra dengan realitanya? Jadi sebenarnya jatuh cinta tak begini?

Apakah kamu hanya mau membuka hatimu ketika aku sudah punya cukup materi? Ketika aku sudah cukup berifikiran dewasa? Kenapa kau tak datang padaku untuk sekedar memberikan nasihat dan mendewasakanku dengan opini-opinimu? Lagi pula materi bisa dicari, apalagi bersama berdua.

Ekspektasiku mengira jatuh cinta hanya butuh cinta, ternyata jatuh cinta banyak syaratnya. Kata mereka jatuh cinta diluar indra, rupanya semua indra bisa menjustifikasi cinta. 

Sekarang hati pengangguran. Tak ada fungsinya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu