Masih Ingat Waktu Itu?
Masih ingat waktu itu?
Saat ujung jemarimu merambat
pelan menyusuri nadiku, terus menurun sampai akhirnya dapatku genggam lekat di
setiap sela-sela jemariku. Lalu kau tatap aku seakan-akan Tuhan tak menciptakan
waktu. Bagimu saat itu, mungkin asal ada aku, tak peduli semesta ini jadi apa.
Asalkan genggaman tangan menjadi saksi bisu Tuhan saat dunia diporak-porandakan
sekalipun, kau rela mengakhiri hidup dengan mata berbinar yang kau arahkan ke
mataku dan kutangkap dengan tatapan lembut. Lalu larut.
Di waktu yang lain, aku masih
ingat ketika angin meniup rambutmu, membelainya lembut. Membuat rambutmu
berkibas, meluapkan keindahan yang membuatku hampir kehilangan waras.
Pegunungan dan kebun teh yang membentang membuat suasana makin khas, apalagi
ketika sinar matahari jatuh pas menerpa wajahmu. Lalu apa lagi yang sanggup
kukatakan? Sementara kata yang paling romantis tak pantas aku ucapkan,
kupasrahkan saja kalimat indah yang tak dapat kudefinisikan pada senja, yang jatuh di
wajahnya.
Bekas genggammu masih terasa di
permukaan telapak tanganku, waktu kita berusaha mencapai tempat tinggi dengan susah
payah mendaki, untuk mencari sepi. Kau menopangkan dagu di pundakku, menyanyikan
senandung sendu, sampai terbit matahari yang kita tunggu. Fajar hari itu terasa
hangat, entah dingin tak terasa menusuknya, mungkin karena kita berdua.
Namun,
Aku juga masih ingat ketika kau
menangis sambil meracaukan kata-kata yang tak ingin kudengar, tentang
alasan-alasanmu harus meninggalkanku. Ketika kau memaksaku untuk mecampakkan kisah
diwaktu yang lalu, dan memaksaku untuk jalani hidup baru, tanpamu.
Sejak itu aku tak ingat, atau tak
ingin mengingat lagi. Walau pada akhirnya kupasrahkan saja, membiasakan realita,
menganggapmu mati ditelan bumi. Bagiku kau mengajarkan bahwa hidup memang semu.
Setidaknya aku punya tulisan yang harus kau baca. Tentang subjektifitasku atas
cerita yang lalu.
Komentar
Posting Komentar