Tentang Jarak
Semenjak berjarak, mungkin kita muak dengan kata-kata.
Dua entitas yang merindu tak akan pernah bisa tenang dengan aksara. Kita selalu
menyebut hubungan namun apa arti hubungan jika tak saling bersentuhan. Bagaimana
perasaan akan menguat kalau perantara rasa hanya kata? Sedari dulu kita selalu
mudah ketika saling melemparkan pertanyaan, namun paling tak pandai menyusun
jawaban, apalagi ketika disuruh sama-sama memastikan.
Kita juga sudah masuk kedalam fase dimana
kutipan kata-kata bijak terdengar sangat menjijikan. Kita selalu berbenturan
dengan realita yang tak pernah dijabarkan dalam kalimat-kalimat cinta. Dunia
selalu saja berubah jadi neraka tak seperti yang digambarkan oleh penjaja surga
di tempat ibadah. Kita pun sudah sangat Lelah menjelaskan prinsip, pandangan,
jalan dan tujuan dari hidup kita pada orang-orang yang kenyataanya saling
berlomba, bukan saling memperdulikan.
Lalu kenapa kita masih memilih Bersama ketika
dalam koneksi itu kita palsu? kita tertawa dalam teks padahal tak ada yang berniat melucu, kita berpaling pada
tenggat yang sedang dikerjakan dan membiarkan telefon berdering saat masing-masing
coba menghubungi. Kita yang tak bangga lagi bersama atau dunia yang sebenarnya
tak pernah setuju?
Kemudian kita saling menghibur di akhir pekan,
sama-sama meluangkan nyaman. Menelefon berbicara memalsukan kebosanan dan hanya
berujung kehampaan. Sesudahnya, kita hanya merasakan waktu yang terbuang. Dan setelah
larut kau bilang, untuk apa bertahan kalau pada akhirnya kita butuh waktu
sendirian?
Aku menyadari ternyata jarak yang paling jauh tidak
diukur dengan kilometer, namun kebersediaan waktu untuk meresonansikan perasaan
manusia agar tetap pada hubungannya, ketertarikannya dan keinginannya. Kita
mungkin sedekat pelukan, namun apa daya kalau tak ada lagi kejut rasa ingin
bertemu dan memiliki.
Bodohnya, tingkat keegoisan kita melangit saat
kalimat terakhir terlontar. Kita selalu mengatakan ingin sendirian walau tak
pernah bertahan dari kesepian.
Komentar
Posting Komentar