Perjalanan
Saat ini aku sedang memilih, ke kanan atau ke kiri. Yang jelas aku tidak mundur ke belakang. Ya, aku sedang dalam perjalanan. Menuju kedewasaan dan kebijaksanaan. Aku tak peduli berapa lama sampai tujuan. Entah berhari , berbulan, bertahun ,berabad. Yang kupikirkan, aku harus bisa jalani detik ini.
Aku melangkah jauh, ketempat yang belum banyak dijajah eksistensi. Mencari keberagaman dan kebaikan dari peristiwa-peristiwa. Dari ketidaksengajaan dan kebetulan. Aku mengobservasi, mendengar dan merasakan. Apa saja yang tersirat di semesta ini.
Aku tertarik dengan beragamnya variasi di muka bumi. Aku suka sekali memerhatikan gunung-gunung tinggi, betapa besarnya mereka. Bijaksana nan agung. Mengakar di muka bumi, mungkin menjaga supaya tanah tetap pada tempatnya. Ia juga menghujam langit, penghubung antara langit dan bumi. Ia menyampai pesan, bagi para penguni bumi. Kepada yang diatas langit.
Aku jatuh cinta dengan momen, ketika kulihat senyum anak-anak kecil diperkampungan, sedang bermain dengan kesederhaan mereka. Ketika kulihat sepoi angin mengelus rerumputan, ketika deru ombak menyapu daratan. Ketika sinar mentari menjamah langit. Hatiku seakan berkata "Tuhan, jagalah negeri ini".
Aku mendaki pegunungan, penuh rasa penasaran dan kekaguman. Menembus langit dengan kaki mungilku. Langkah demi langkah, keluhan demi keluhan. Tidur beralaskan tanah dan beratapkan bintang-bintang. Mencoba mencari kebijaksanaan. Terkadang aku juga pergi ke puncaknya, bercerita dengan awan-awan. Melawan keangkuhan.
Aku mendengar keluh kesah dari pepohonan, tentang betapa sesaknya udara kini. Banyak dari jenisnya yang sudah dipotong kecil-kecil untuk bahan bangunan. Ada juga yang dibakar, untuk ekspansi lahan pertanian. Mungkin embun yang biasa kulihat dipagi hari adalah tanda kalau pepohonan juga menangis, tentang betapa tersiksanya mereka.
Aku suka dipeluk dingin kabut, memudarkan pemandangan. Seakan ia berkata padaku," buat apa melihat jauh. Lihat dirimu sendiri. Apa yang kamu lihat hanya perspektif dan apa yang kamu dengar hanya opini. Coba lihat ke dalam hati nuranimu, apa ada noda yang tersembunyi disana?" Aku terenyuh mendengar nasihatnya.
Malam larut, aku bersenda gurau dengan api unggun. Berterimakasih karena telah memberi kehangatan di dingin malam. Pelajaran yang ia berikan, ia bahkan rela terbakar untuk menghangatkan. Ia mementingkan kepentingan orang. baru dirinya sendiri. walau akhirnya menjadi abu, setidaknya selama hidup ia bermanfaat.
Aku juga berbincang-bincang dengan bebatuan, mendengarkan cerita tentang berlalunya zaman. Sebagai saksi bisu akan ketidakabadian. Mengalami sunyi senyapnya waktu , berabad-abad di tempat yang sama ibarat bersemedi. Makanya ia keras dan tak lapuk dimakan waktu. Ia cuma berpesan, keraslah dalam pendirian.
Awalnya aku tak mendengarnya, rupanya angin berbisik kepadaku. Mengajarkan kearifan baru. Ia mewariskan kebijaksanaanya padaku. Angin ia tak terlihat, terkadang tak terasa kehadirannya. Tapi banyak memberikan kesan hidup pada kita, memberikan nafas. Terkadang untuk bermanfaat, kita tak perlu dirasakan dan tak perlu menampakkan diri.
Jadi ini, pelajaran yang didapat oleh para penyendiri dan para perenung. Rupanya bukan seberapa sering kita melakukan perjalanan. Tapi seberapa banyak kearifan yang kita ekstrak dari sebuah perjalanan. Semesta sungguh bijaksana , sungguh arif nan agung.
Aku jatuh cinta dengan momen, ketika kulihat senyum anak-anak kecil diperkampungan, sedang bermain dengan kesederhaan mereka. Ketika kulihat sepoi angin mengelus rerumputan, ketika deru ombak menyapu daratan. Ketika sinar mentari menjamah langit. Hatiku seakan berkata "Tuhan, jagalah negeri ini".
Aku mendaki pegunungan, penuh rasa penasaran dan kekaguman. Menembus langit dengan kaki mungilku. Langkah demi langkah, keluhan demi keluhan. Tidur beralaskan tanah dan beratapkan bintang-bintang. Mencoba mencari kebijaksanaan. Terkadang aku juga pergi ke puncaknya, bercerita dengan awan-awan. Melawan keangkuhan.
Aku mendengar keluh kesah dari pepohonan, tentang betapa sesaknya udara kini. Banyak dari jenisnya yang sudah dipotong kecil-kecil untuk bahan bangunan. Ada juga yang dibakar, untuk ekspansi lahan pertanian. Mungkin embun yang biasa kulihat dipagi hari adalah tanda kalau pepohonan juga menangis, tentang betapa tersiksanya mereka.
Aku suka dipeluk dingin kabut, memudarkan pemandangan. Seakan ia berkata padaku," buat apa melihat jauh. Lihat dirimu sendiri. Apa yang kamu lihat hanya perspektif dan apa yang kamu dengar hanya opini. Coba lihat ke dalam hati nuranimu, apa ada noda yang tersembunyi disana?" Aku terenyuh mendengar nasihatnya.
Malam larut, aku bersenda gurau dengan api unggun. Berterimakasih karena telah memberi kehangatan di dingin malam. Pelajaran yang ia berikan, ia bahkan rela terbakar untuk menghangatkan. Ia mementingkan kepentingan orang. baru dirinya sendiri. walau akhirnya menjadi abu, setidaknya selama hidup ia bermanfaat.
Aku juga berbincang-bincang dengan bebatuan, mendengarkan cerita tentang berlalunya zaman. Sebagai saksi bisu akan ketidakabadian. Mengalami sunyi senyapnya waktu , berabad-abad di tempat yang sama ibarat bersemedi. Makanya ia keras dan tak lapuk dimakan waktu. Ia cuma berpesan, keraslah dalam pendirian.
Awalnya aku tak mendengarnya, rupanya angin berbisik kepadaku. Mengajarkan kearifan baru. Ia mewariskan kebijaksanaanya padaku. Angin ia tak terlihat, terkadang tak terasa kehadirannya. Tapi banyak memberikan kesan hidup pada kita, memberikan nafas. Terkadang untuk bermanfaat, kita tak perlu dirasakan dan tak perlu menampakkan diri.
Jadi ini, pelajaran yang didapat oleh para penyendiri dan para perenung. Rupanya bukan seberapa sering kita melakukan perjalanan. Tapi seberapa banyak kearifan yang kita ekstrak dari sebuah perjalanan. Semesta sungguh bijaksana , sungguh arif nan agung.
Komentar
Posting Komentar