Sang Proletar


Aku ada di antara kalian, sementara kalian selalu melihat ke atas, ke arah para kapitalis, para borjuis. Aku dibawah sini ada, sedang mengais. Aku tinggal di bantaran sungai, di kampung kumuh yang berlumpur. Sudah berkali-kali peringatan relokasi datang ke kampungku, menutut pindahnya kami ke tempat yang lebih layak menurut mereka. Menjauhkan kami dari kemandirian kami. begitu yang terjadi namun tetap saja kami ditakuti penguasa.

Kata-kata kami lebih menyayat dari pada pisau, lebih menusuk dari pada peluru. Kami musuh para birokrat, tak jarang kami disebutnya keparat. Kami lambang anarkisme, lambang perlawanan dan pemberontakan. Kami lahir dan besar di negeri ini, kami bukan turis, apalagi dianggap ekspatriat. 

Kepalan tangan sudah kaku, sampai sukar digerakkan. Otot lengan sudah semakin keras, teringat betapa lama lengan ini menghujam langit. Kami juga ada diantara para demonstran, tak jarang di garis depan. Kami ada diantara para buruh, para aktivis, para wartawan, para janda, para cacat. Kami orang-orang yang terenggut haknya.

Kami ibarat pion di bidak catur, pekerja kasar, umpan peluru, bagian kena pukul saja. Persetan dengan HAM, kamilah refleksi dari mirisnya HAM tersebut di negeri ini. Kami ada dan tidak diliput media, yang dimiliki para kapitalis borjuis. 

Kami bukan komunis, menutut sama rasa dan sama rata. Tapi kami tidak rela diperlakukan para kapitalis untuk jadi miskin dan semakin miskin. Demokratis, cuma seonggok kata yang berisi cita-cita bagi kami, sebuah wacana & pengkhianatan nurani.

Kalau bukan kami para proletariat, yang terus-menerus melawan, menolak lupa dengan ketidakadilan ciptaan penguasa. Siapa lagi? para pengusaha yang di backing oleh penguasa? para mahasiswa yang dipaksa apatis oleh sistem akademik? media yang dipaksa para diktator? Wakil rakyat yang korup? pemuka agama yang bejat?

Kami ada, ratusan, jutaan atau bahkan ratusjutaan diantara kalian. Ketika kami turun, ada yang tidak beres dengan negara ini, protes memang lebih mudah daripada mempertanggung jawabkan, menuntut memang  lebih mudah dari pada merealisasikan. Tapi kami butuh makan, kami butuh susu untuk bayi-bayi kami. 

Kami bukan orang yang kompeten dalam mengkaji Undang-Undang, kami bukan akademisi, kami bukan ahli agama. Kami sekumpulan orang, yang terenggut haknya. Yang sebagian besar hanya berharap kepada maut untuk segera menjemput atau sekedar dapat makan. Namun, aku sebagian yang lain, yang menolak lupa, yang memilih melawan.

Kami dari mana saja, bisa saja para aktivis, para penyair, para janda muda, para cacat, para mahasiswa, para pers, para buruh, para guru, para petani, para seniman. Kami orang yang berivisi, mengingatkan. Masih ada yang tidak beres di negeri ini. Kami sebarisan, merangsek dan mendobrak. kami berkata atas nama kami. "Kamilah Sang Proletar". Musuh para kapitalis.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu