Sepucuk Senja Untuk Kekasih.


Lagi-lagi aku rindu kamu, rindu hangatnya sela-sela jemarimu. Ya, itu yang terakhir kuingat beberapa tahun yang lalu. Saat semesta begitu tak adil, seakan jarak dan waktu tak merestui kita. Kini aku merantau jauh ke kota berselimut kabut di antara pegunungan.

Begini, kasih. Aku sudah berkelana sana-sini. Mengendarai hati usang yang waktu itu pernah kuboncengi kamu dengannya. Dengan perasaan yang sama saat kamu tidak ada di jok belakangku. Ratusan kilometer kulalui dengan hampa hening. Sulit sekali rasanya memalingkan wajahku walau aku hanya bisa menutup wajahmu sesaat. Seakan otak ini menolak lupa. 

Sesaat aku terbesit untuk kembali mencarimu di tengah tumpukan memori. Menggali lagi kenangan-kenangan yang mungkin sekarang sudah basi. Dan berharap untuk memulai lagi. Maka dari itu tak enak rasanya bila aku yang sudah lama pergi tak membawa buah tangan untukmu yang mungkin sedang menunggu, walaupun ada juga kemungkinan kamu sudah jauh pergi.

Aku bingung buah tangan apa yang pas untuk kubawa nanti, hal itu haruslah romantis, sendu dan syahdu. Banyak orang sudah kutanya, banyak tempat sudah kudatangi, banyak hari sudah kulewati. Tetapi tak kunjung kutemukan jawabnya. Sampai akhirnya kutepikan diriku dipinggir pantai. Melihat mentari kemerahan di sore hari. Kudapat jawabnya.

Semenjak aku terpikir itu, aku pergi untuk mencari buah tangan yang cocok untuk kubawa nanti. Aku akan membawakanmu senja matang, yang merah merona. Harapannya, itu akan menyembuhkan luka yang mungkin sudah busuk, yang dulu pernah ku buat. Menghilangkan penyakit-penyakit yang timbul oleh ku dulu. 

Sebelum itu, kuceritakan dulu tentang senjaku. Jadi, ini bukan senja biasa. Sewaktu dipantai, matahari bertanya padaku ada apa gerangan yang membuat gelagatku lesu. Aku bercerita pada matahari bahwa aku pernah memutuskan pergi dengan alasan yang jauh dari kata pasti kepada hawa yang dulu kupilih sendiri. Matahari bertanya lagi tentang penyesalanku, aku bilang padanya aku tidak menyesal hanya saja merasa salah. Akhirnya setelah ia menasihatiku dengan kata-kata yang bagiku sangat tinggi untuk kudengar ia memberiku senja.

Aku membawanya dalam toples kecil berhiaskan perasaan sesal. Tak lupa kubungkus dengan kertas pernyataan maaf. Kumasukkan juga berbagai macam kata yang pernah kuucap tentangmu. Tulisan, puisi, sajak, lukisan dan lagu-lagu yang kunyanyikan untukmu. Yang nantinya sudah ku setting apabila kau membuka tutup toples tersebut. Kau bisa melihat semesta, tentang keberadaanku yang mencarimu didalamnya.

Ya ini aku, pria yang bersedia mencari senja yang bahkan ia tak tahu apakah cukup untuk menebus rindu yang bertepuk sebelah tangan. Atau mungkin rindu haram saat kau berada dipelukan orang. Mungkin ini akhirnya, miris dan tragis. Namun , kasih. Sadarlah aku tidak mengemis ataupun menangis. Aku hanya merasa teriris. 

Ku kirimkan senja ini dengan sepucuk surat yang kugulung rapi dalam toples, kemudian aku bertanya pada semesta apakah ia bersedia untuk mengirimkan ini kepadamu. Ia menjawab bersedia, lalu kudaki awan-awan, kulepas toples ini ke semesta luas. Kupandang bintang-bintang yang menangis menjadi saksiku, sebelum kuhempas toples ini ke semesta tanpa batas.



Kuberharap akan jatuh di samping tempat tidurmu atau di depan pintu hatimu. Dengan ini kukirim peluk padamu, kasih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu