Salah Sangka
Realita itu getir.
Sekarang hiperbolaku menjadi dosa.
Sekarang hiperbolaku menjadi dosa.
Aku selalu menghiperbolakanmu. Memutar logika, menemukan kata lalu merangkainya menjadi nada yang setidaknya pantas dibaca. Kata orang yang membaca tulisanku, aku sok puitis. Kepuitisan itu tak nampak dari tingkah laku bahkan raut muka. Namun mereka tak tahu aku belajar puitis. Kalau tak mengharap perasaanmu mana mungkin aku berpuisi dengan tema yang sangat hiperbolik.
Kalau kau rutin membaca tulisanku, berpikirlah. Tulisan ini perlu kau baca dua tiga kali. Yang tertulis hanya permukaannya, pemaknaan tetap aku dan Tuhan yang paling mengetahuinya. Tapi setidaknya, jangan sekali lewat. Itupun kalau kau mau dan sempat.
Tulisanku hanya memaksaku yakin kau benar-benar menaruh rasa padaku. Itupun karena kubaca juga tulisanmu. Kukira melalui tulisan kita bisa mensingkronkan, saling membalas, mengharap dan mendoakan dalam diam. Ternyata semua hanya anggapan, aku terlalu naif. Ungkapan soal saling membiarkan dan bertahan rupanya omong kosong. Diantara kita tak pernah ada 'kita' , sebenarnya.
Dan sekarang aku merasakan kalau sebenarnya kau tak menitipkan pesan pada udara saat kita berbincang, kau tak menyelipkan makna pada tulisan hampamu itu. Bahkan tatapan itu cuma kebetulan saja kutangkap. Lalu kau lupakan.
Akhirnya aku sadar, kau tak menaruh perasaan apa-apa. Pun diakhir tulisan aku tak berhak mengatakan selamat tinggal. Memangnya aku siapa?
Komentar
Posting Komentar