Melodia Senja


Sewaktu Surya sudah mulai beranjak dari kedudukannya, aku pergi dari bale bambu yang biasa kupakai untuk duduk-duduk. Berjalan ke ketinggian membawa gitar dengan sedikit kudapan untuk bekal di atas sana.

Mulai kufikirkan melodi apa yang akan kusampaikan lewat dawai gitarku sembari kulangkahi jalan mendaki yang sedikit berbatu. Tak terasa rupanya ketika aku sedang sibuk dengan benakku, sampai juga aku di titik ketinggian yang ku tuju.

Terduduklah aku di bawah pohon randu yang agak rindang dibuat angin, sambil masih berpikir melodi apa yang paling cocok kusenandungkan hari ini.Tak lupa kuseduh kopi hitam yang bijihnya dari Tanah subur di ujung pertiwi. Kuaduk, kuhayati setiap denting benturan sendok ke bibir cangkir. Begitu sendu. Setelah itu kuhirup wangi kopi yang khas itu. Ahh, momen paling romantis di hari itu.

Sambil menunggu kawanku yang kunanti itu, kutulis puisi-puisi dan sajak, kuadukan semua keluhku dalam barisan kata-kata yang syahdu, kemudian coba kulantangkan dengan merdu, awan-awanpun bersorak sorai mendengar puisiku, melankolis katanya, begitu sampai-sampai tak terasa waktu berlalu, sudah berlembar-lembar saja di buku harianku.

Terasa angin sudah tak sabar, mereka menari-nari di sekujur tubuhku, membujuk dengan tergesa, untuk cepat segera. Sambil angin menari semilir, sang Mega pun menyapa dari ufuk barat, berkata sebentar lagi akan datang senja, sambil ia berpamit meninggalkan warna kemerahannya.

Tak lama Senja datang, seperti biasa ia begitu sederhana, ia melangkah pelan penuh wibawa. Segera ia menyapa setelah sampai, kutanyakan apa ia membawa titipanku. Rupanya Senja tak lupa, ia membawakan aku sekotak inspirasi yang kutitip padanya di kemarin hari. Sebagai timbal baliknya, ia meminta untuk sedikit waktu bersamaku untuk sekedar berpuisi, bernyayi dan bercerita dalam melodia.

Lama tak bercengkrama dengannya, ia menanyakan  beberapa saat sudah tak sering lagi aku tampak berjuma dibukit ini dengannya, kemana saja tanyanya. Kufikir iya juga, sudah lama aku larut dalam rutinitas, sampai-sampai lupa menjenguk Senja di tempat yang biasa. Segera setelah penjelasanku, maaf kukatakan padanya. Tak perlu begitu katanya, lanjut dengan nasihat sebenarnya aku yang melupakan diriku sendiri, tenggelam dalam rutinitas dan idealitas.

Bijaksana memang si Kawan satu ini, walau lama tak berjumpa seperti kawan dekat saja seperti biasanya. Sambil tertawa kecil dan bersenda gurau. Lama kelamaan lupa waktu kami, Senja pun semakin memerah, tanda waktunya di Bumi sudah pada batasnya.

Yasudah, kuposisikan gitarku sebagaimana biasanya kubersenandung. Kumainkan dawai itu, dengan beberapa petikan berulang dalam harmoni. Kujadikan sore ini adalah waktu dimana aku menyenandungkan Melodia Senja. Tentang melankolisnya Senja.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu