Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Aku pernah

Kamu tahu, kalo boleh bercerita sedikit. Terkadang logika ini selalu tak sependapat dengan keseharian. Tentang bagaimana sesuatu menjadi kebiasaan. Orang-orang arif sering mencari kesendirian dengan ritual-ritual penyejuk pikiran. Mungkin itu salah satu fasilitas, mengenal diri untuk tau sampai mana diri ini terbatas. Aku pernah melangkah tanpa alas kaki, di atas batu kerikil yang sedikit menusuk kaki. Sedikit nyeri terasa. Lalu kupijak rumput yang basah setelah terkena hujan, lembut ternyata. Melangkah aku dari pasir sampai tanah merah. Oh, ini rasanya bumi, sungguh mengena, pengharmoni suasana. Aku pernah merasakan deru ombak, walau setidaknya hanya batas lutut. Menderu-deru, semu dan sendu. Lalu kurebahkan punggung ini dibibir pantai serentak ketika ombak mengecup. Oh, ini rasanya lautan, ringan, ramah. Aku pernah berjalan ke hutan-hutan, saat ujung-ujung daun menyentuh pipiku. Lalu dalam kelembaban belantara itu, kuteriakkan teriak sekencangnya. Oh, ini rasanya hutan, lembut

Bicara Kekinian

Zaman semakin kesini semakin banyak pembaharuan, banyak pemelintiran dan pembiasan. Istilah baru yang terkini, sekarang disebut kekinian. Orang-orang sudah jadi intelektualis apatis, dengan ruang gerak 10cm dari sudut-sudut tubuh tipis dan banyak mata yang sudah berubah sinis. Mungkin karena sedari masih kecil, sudah dikotak-kotakkan dengan doktrin penyeragaman. Pikiran jadi mungil, terhipnotis dengan pencapaian dan angan yang selalu disemogakan. Potensi terpenjara, dibatasi oleh kejamnya sandiwara. Atau mungkin arahan dari yang tua, tentang hidup kedepan harus bermartabat, kaya sembari jumawa. Harga diri jatuh, sementara harga pakaian minim semakin tinggi. Yang mahal pakaiannya, bukan harga dirinya yang semakin murah. Kemudian aturan menutup aurat harus disiasati agar memenuhi standar fashion, bukan standar syariat, supaya laris dipasaran. Apa-apa harus kebarat-baratan. Dan semakin tak masuk logika, barang-barang dijual bukan berdasarkan fungsinya, tapi mereknya. Tinggal pemikir

Pelataran, Kopi & Ayah

Gambar
Kali ini malam, setelah terdengar kumandang adzan Isya', yang tua dan yang muda berangkat ke masjid dengan segera. Aku dan Ayah melewati pinggiran sawah dan ladang tetangga, karna yang kuketahui di kampung yang berisi puluhan kepala keluarga itu hanya ada satu masjid, pun persebaran rumah di kampung itu terpisah-pisah penataannya. Mau tidak mau, ya lewat sawah orang. Dan mungkin sudah berpuluh-puluh tahun begitu. Berbalut baju batik dan sarung tenun, sebagai jama'ah sholat isya' , kami mulai merapatkan shaf. Tak lupa Imam menjalankan kewajibannya, untuk mengecek seberapa lurus dan rapat shaf jama'ahnya. Setelah selesai, di pandu Imam, Jama'ah menengadahkan harapannya. Kepada Sang Gusti. Ibadah wajib yang terakhir hari ini sudah selesai kami tunaikan, sampai selesai dan lalu pulang. Duduknya aku dipelataran rumah khas adat jawa yang kami tinggali selama beberapa waktu disana. Tiba-tiba seseorang yang sudah masuk rumah tadi, keluar lagi. Ternyata itu Ayah,

Senja di tepi Dermaga

Gambar
Sore itu, setelah seharian penuh aku berkeliling di utara teluk Jakarta. Tepatnya di Pulau eksotis yang sekarang sudah terjamah seluruh bagian tubuhnya, tempat pelampiasan manusia yang bosan dengan hiruk-pikuknya Metropolitan. Namun, kalau hanya untuk sekedar liburan akhir pekan. Tak apa, asalkan keluar rumah, dan pura-pura lupa dengan kerjaan, bagi segenap kawula, lebih baik daripada diam saja. Sambil mengangkut alat-alat yang kupakai sore tadi, kapal penjemput datang menawarkan tumpangan, bagusnya, kegiatan hari ini berakhir dengan senyuman, dan tak ada kejadian. Sesampainya ditengah laut, terlihat lumba-lumba sedang bersenda gurau, melompat-lompat di permukaan air. Tak kusangka, ternyata masih ada saja lumba-lumba yang mau berkunjung di tempat yang dijarah manusia ini. Dalam hati aku meminta maaf, jenisku telah merusak rumah kalian. Ditepikannya kapal itu kemudian, keluarlah aku lewat pintu sempit sebelah kiri, sambil kubakar sebatang tembakau berbalut kertas hitam favo

Sebelum ku ikrarkan kamu

Gambar
Sudah tak terhitung berapa hari, tak terasa berapa lama juga kamu menemani. Ternyata dalam ruang dan waktu yang kujalani, aku hanya di cap pengecut oleh sebagian orang masa kini. Hanya saja mereka yang tak mengerti, bukan seperti mereka yang katanya aku suka memberikan harapan yang basi, hanya saja, aku belum berani, menjalin komitmen dalam sebuah istilah yang tak pasti. Bagiku kamu terlalu indah untuk diikat dalam ketidakpastian, kamu terlalu berharga untuk digandeng tanpa sebuah jaminan. Aku memastikan bahwa tak bohong ini perasaan, aku mengatakan bahwa benar ini logika pemikiran. Yang pada akhirnya, yang muncul hanya sebuah bias yang berkelanjutan. Ya, bisa saja kau kuberikan perhatian, bisa saja kau kuberikan kenyamanan, bisa saja kuberikan kau rasa sayang dan waktu luang. Hanya saja aku kembali bertanya pada diriku sendiri, pantaskah seseorang seindah kamu kuikat dalam tidak pastian? sementara apalah daya aku ini, tak bermodal, tak bermotivasi, tak bertanggung jawab, egois,