Sebelum ku ikrarkan kamu

Sudah tak terhitung berapa hari, tak terasa berapa lama juga kamu menemani. Ternyata dalam ruang dan waktu yang kujalani, aku hanya di cap pengecut oleh sebagian orang masa kini. Hanya saja mereka yang tak mengerti, bukan seperti mereka yang katanya aku suka memberikan harapan yang basi, hanya saja, aku belum berani, menjalin komitmen dalam sebuah istilah yang tak pasti.

Bagiku kamu terlalu indah untuk diikat dalam ketidakpastian, kamu terlalu berharga untuk digandeng tanpa sebuah jaminan. Aku memastikan bahwa tak bohong ini perasaan, aku mengatakan bahwa benar ini logika pemikiran. Yang pada akhirnya, yang muncul hanya sebuah bias yang berkelanjutan.

Ya,
bisa saja kau kuberikan perhatian, bisa saja kau kuberikan kenyamanan, bisa saja kuberikan kau rasa sayang dan waktu luang. Hanya saja aku kembali bertanya pada diriku sendiri, pantaskah seseorang seindah kamu kuikat dalam tidak pastian? sementara apalah daya aku ini, tak bermodal, tak bermotivasi, tak bertanggung jawab, egois, idealis.

Aku hanya merasa kasihan, terhadap perasaan yang selalu aku tipu untuk tidak melihat kiri-kanan. Merasa kuat dan berdasar kokoh. Namun, ketika dibenturkan antara kenyataan dan keinginan. Semua jadi tak seimbang, tak sepadan.

Ya,
Untukmu aku tak sepadan, itu kata pondasinya. Aku takut tak bisa menjaga nilai tinggi dan keindahan kamu. Sudah pasti itu, logika dan perasaanku pun setuju. Tapi jika kamu mau menunggu, yang juga dalam ketidakpastian itu.

Izinkan aku menjadi laki-laki dulu, yang suatu saat bisa memberimu kepastian. Yang tidak serta-merta membuatmu disia-siakan. Izinkan aku berkerja keras, sebagai dedikasiku atas jaminanku untuk kamu. Hingga nanti kita sama-sama bisa saling menjaga lelahnya harap hati ini.

Aku akan bejuang lebih hebat, untuk mendapatkan kamu yang luar biasa hebat. Kutunjukkan kamu tidak murahan, kutunjukkan kamu bukan perempuan sembarangan, akan kuberikan kamu kesungguan sampai akhirnya ku sanggup untuk mengikrarkan kamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu