Bicara Kekinian
Zaman semakin kesini semakin banyak pembaharuan, banyak pemelintiran dan pembiasan. Istilah baru yang terkini, sekarang disebut kekinian. Orang-orang sudah jadi intelektualis apatis, dengan ruang gerak 10cm dari sudut-sudut tubuh tipis dan banyak mata yang sudah berubah sinis. Mungkin karena sedari masih kecil, sudah dikotak-kotakkan dengan doktrin penyeragaman. Pikiran jadi mungil, terhipnotis dengan pencapaian dan angan yang selalu disemogakan.
Potensi terpenjara, dibatasi oleh kejamnya sandiwara. Atau mungkin arahan dari yang tua, tentang hidup kedepan harus bermartabat, kaya sembari jumawa.
Harga diri jatuh, sementara harga pakaian minim semakin tinggi. Yang mahal pakaiannya, bukan harga dirinya yang semakin murah. Kemudian aturan menutup aurat harus disiasati agar memenuhi standar fashion, bukan standar syariat, supaya laris dipasaran. Apa-apa harus kebarat-baratan.
Dan semakin tak masuk logika, barang-barang dijual bukan berdasarkan fungsinya, tapi mereknya. Tinggal pemikiran konsumen saja yang harusnya bisa membedakan, mana yang dibeli karena harus memenuhi urgensi, mana yang harus karena hanya untuk memenuhi gengsi.
Negarapun begitu, demi mendapatkan pendapatan yang komoditasnya merupakan tertinggi di Ibu Pertiwi. Ekonomi negeri ditunjang karena masyarakat suka racun, iya. Kamu tahu kalau rokok itu menyumbang persentase besar kepada pemasukan negara? Jadi logikanya, kalau kamu mau negaramu maju, racuni tubuhmu. Tinggal kau panen racunmu nanti ketika tua dirumah sakit.
Bahkan penyedap rasa harganya naik berkali-kali lipat, menteri pertanian memerintahkan mulai menanam cabai dipekarangan rumah untuk mencapai target swasembada cabai, yang nantinya bisa diekspor. Pak, bisakah yang diprioritaskan adalah untuk memenuhi masyarakat dahulu, baru nanti surplusnya bisa diekspor.
Lalu anak-anak mudanya semakin praktis, lebih suka senang-senang, tidak mau susah. Sementara orang tua hanya mengiyakan saja, apa yang jadi permintaan sang anak. Keluarga pun beralih menjadi gadget, ramai di grup socmed. Sepi di meja makan karena sepi pembahasan.
Sementara di Jawa Timur ada potensi semen besar yang dapat dijadikan income untuk negara, namun rakyatnya sengsara, kebudayaan dan kearifan lokalnya digaruk bersama karst yang melimpah itu. Ketika ditanya, Sang Penguasa malah menjawab daerah bukan urusan pusat. Hei pak, kalau sampah disungai itu ada di hilir, ya pasti datangnya dari hulu.
Negara agraris katanya, sementara ratusan hektar tanah di kulonprogo akan dijadikan bandara, ratusan are tanah akan di ratakan dengan pabrik semen di Rembang. Sampai petani itu keheranan, kemarin-kemarin sudah berikan surplus swasembada pangan, kok sekarang lahan kami dikandaskan? Tak apalah semen kaki itu memakan korban, barangkali pemerintah masih sibuk dengan partai segolongan.
Dan di papua sana, bagaimana nasib Jaya Wijaya itu, yang sebagian tubuhnya kalian sobek untuk mencari organ dalam yang berbentuk logam emas. Buruknya, dijual untuk negara yang jauh di barat sana, sementara papua infrastruktur dan pembangunan sangat lambat. Dan masyarakat terisoler oleh kebutuhan yang terbatas.
Kitab-kitab dan buku-buku mulai ditinggalkan, sementara ada gadget yang lebih kekinian. Mungkin buku dianggap primitif dan ketinggalan zaman. Membaca topik-topik berat dianggap pencitraan, lalu apa maunya. Berenang bersama orang-orang yang entah terbawa kemana mainstream airnya?
Pikiran sarjana muda kemudian diseragamkan, pokoknya jadi PNS. Hidup enak, cari muka, cari jabatan, kemudian jadi manusia tak sabaran, lalu ketagihan makan uang orang banyak. Sementara petani jadi kuli-kuli pembangun bangunan ekonomi negara, tapi pejabat ini pelihara tikus untuk makan tiang-tiangnya, eh bukan, makan uang petaninya.
Anehnya, orang-orang muda yang bau kencur yang memperjuangkan. Ikut-ikutan berada digarda paling depan massa. Yang sekarang essensi itu sudah berubah dengan beraksi menjadi mencari eksistensi, cari kesempatan, cari muka golongan atau nama baik diri sendiri. Sebutanku untuk mereka, pahlawan cari momen.
Sementara disana ada yang krisis air, krisis mata pencaharian, krisis tempat tinggal bahkan sampai krisis harapan. Ya maklum lah pak, masyarakat kecil hanya bisa protes. Soalnya birokrasi protes yang benar tidak pernah disosialisasikan di sawah-sawah. Dan minta maaf, ketika masyarakat kecil protes ke pusat jangan dilempar sana lempar sini. Lho kan bapak orang yang kemarin fotonya di coblos ramai-ramai di kampung yang sekarang kena gusur. Wajar protesnya ke bapak.
Kalau kamu mau bicara kekinian, tak usah kait-kaitkan dengan lifestyle. tak usah kait-kaitkan dengan ketidakjelasan kamu mengikuti alur utama zaman. pikirkan mereka yang bahkan tak mengerti apa itu lifestyle dan bahkan tak mengerti sudah seperti apa zaman sekarang ini.
Potensi terpenjara, dibatasi oleh kejamnya sandiwara. Atau mungkin arahan dari yang tua, tentang hidup kedepan harus bermartabat, kaya sembari jumawa.
Harga diri jatuh, sementara harga pakaian minim semakin tinggi. Yang mahal pakaiannya, bukan harga dirinya yang semakin murah. Kemudian aturan menutup aurat harus disiasati agar memenuhi standar fashion, bukan standar syariat, supaya laris dipasaran. Apa-apa harus kebarat-baratan.
Dan semakin tak masuk logika, barang-barang dijual bukan berdasarkan fungsinya, tapi mereknya. Tinggal pemikiran konsumen saja yang harusnya bisa membedakan, mana yang dibeli karena harus memenuhi urgensi, mana yang harus karena hanya untuk memenuhi gengsi.
Negarapun begitu, demi mendapatkan pendapatan yang komoditasnya merupakan tertinggi di Ibu Pertiwi. Ekonomi negeri ditunjang karena masyarakat suka racun, iya. Kamu tahu kalau rokok itu menyumbang persentase besar kepada pemasukan negara? Jadi logikanya, kalau kamu mau negaramu maju, racuni tubuhmu. Tinggal kau panen racunmu nanti ketika tua dirumah sakit.
Bahkan penyedap rasa harganya naik berkali-kali lipat, menteri pertanian memerintahkan mulai menanam cabai dipekarangan rumah untuk mencapai target swasembada cabai, yang nantinya bisa diekspor. Pak, bisakah yang diprioritaskan adalah untuk memenuhi masyarakat dahulu, baru nanti surplusnya bisa diekspor.
Lalu anak-anak mudanya semakin praktis, lebih suka senang-senang, tidak mau susah. Sementara orang tua hanya mengiyakan saja, apa yang jadi permintaan sang anak. Keluarga pun beralih menjadi gadget, ramai di grup socmed. Sepi di meja makan karena sepi pembahasan.
Sementara di Jawa Timur ada potensi semen besar yang dapat dijadikan income untuk negara, namun rakyatnya sengsara, kebudayaan dan kearifan lokalnya digaruk bersama karst yang melimpah itu. Ketika ditanya, Sang Penguasa malah menjawab daerah bukan urusan pusat. Hei pak, kalau sampah disungai itu ada di hilir, ya pasti datangnya dari hulu.
Negara agraris katanya, sementara ratusan hektar tanah di kulonprogo akan dijadikan bandara, ratusan are tanah akan di ratakan dengan pabrik semen di Rembang. Sampai petani itu keheranan, kemarin-kemarin sudah berikan surplus swasembada pangan, kok sekarang lahan kami dikandaskan? Tak apalah semen kaki itu memakan korban, barangkali pemerintah masih sibuk dengan partai segolongan.
Dan di papua sana, bagaimana nasib Jaya Wijaya itu, yang sebagian tubuhnya kalian sobek untuk mencari organ dalam yang berbentuk logam emas. Buruknya, dijual untuk negara yang jauh di barat sana, sementara papua infrastruktur dan pembangunan sangat lambat. Dan masyarakat terisoler oleh kebutuhan yang terbatas.
Kitab-kitab dan buku-buku mulai ditinggalkan, sementara ada gadget yang lebih kekinian. Mungkin buku dianggap primitif dan ketinggalan zaman. Membaca topik-topik berat dianggap pencitraan, lalu apa maunya. Berenang bersama orang-orang yang entah terbawa kemana mainstream airnya?
Pikiran sarjana muda kemudian diseragamkan, pokoknya jadi PNS. Hidup enak, cari muka, cari jabatan, kemudian jadi manusia tak sabaran, lalu ketagihan makan uang orang banyak. Sementara petani jadi kuli-kuli pembangun bangunan ekonomi negara, tapi pejabat ini pelihara tikus untuk makan tiang-tiangnya, eh bukan, makan uang petaninya.
Anehnya, orang-orang muda yang bau kencur yang memperjuangkan. Ikut-ikutan berada digarda paling depan massa. Yang sekarang essensi itu sudah berubah dengan beraksi menjadi mencari eksistensi, cari kesempatan, cari muka golongan atau nama baik diri sendiri. Sebutanku untuk mereka, pahlawan cari momen.
Sementara disana ada yang krisis air, krisis mata pencaharian, krisis tempat tinggal bahkan sampai krisis harapan. Ya maklum lah pak, masyarakat kecil hanya bisa protes. Soalnya birokrasi protes yang benar tidak pernah disosialisasikan di sawah-sawah. Dan minta maaf, ketika masyarakat kecil protes ke pusat jangan dilempar sana lempar sini. Lho kan bapak orang yang kemarin fotonya di coblos ramai-ramai di kampung yang sekarang kena gusur. Wajar protesnya ke bapak.
Kalau kamu mau bicara kekinian, tak usah kait-kaitkan dengan lifestyle. tak usah kait-kaitkan dengan ketidakjelasan kamu mengikuti alur utama zaman. pikirkan mereka yang bahkan tak mengerti apa itu lifestyle dan bahkan tak mengerti sudah seperti apa zaman sekarang ini.
Komentar
Posting Komentar