Pelataran, Kopi & Ayah
Kali ini malam, setelah terdengar kumandang adzan Isya', yang tua dan yang muda berangkat ke masjid dengan segera. Aku dan Ayah melewati pinggiran sawah dan ladang tetangga, karna yang kuketahui di kampung yang berisi puluhan kepala keluarga itu hanya ada satu masjid, pun persebaran rumah di kampung itu terpisah-pisah penataannya. Mau tidak mau, ya lewat sawah orang. Dan mungkin sudah berpuluh-puluh tahun begitu.
Berbalut baju batik dan sarung tenun, sebagai jama'ah sholat isya' , kami mulai merapatkan shaf. Tak lupa Imam menjalankan kewajibannya, untuk mengecek seberapa lurus dan rapat shaf jama'ahnya. Setelah selesai, di pandu Imam, Jama'ah menengadahkan harapannya. Kepada Sang Gusti.
Ibadah wajib yang terakhir hari ini sudah selesai kami tunaikan, sampai selesai dan lalu pulang. Duduknya aku dipelataran rumah khas adat jawa yang kami tinggali selama beberapa waktu disana. Tiba-tiba seseorang yang sudah masuk rumah tadi, keluar lagi. Ternyata itu Ayah, dugaanku Ia mengajak mengaji , rupanya tidak. Ia memegang dua cangkir kopi.
Diajaknya aku duduk bergeser agak ke tengah, lalu aku bersimpuh didepan kopi-nya. Tak sabaran, langsung kusambar cangkir itu. Ayah menepis tanganku, sembari bilang. "Sabar, anak. Ambil lehernya, naikkan pelan-pelan sejajar dada, ucap Bismillah, tenggak perlahan". Kuturuti berdasarkan arahannya, bahkan lafadz Bismillah itu ku-jahr-kan. Sesaat setelah kutenggak, ia bertanya. "Kopi apa itu, anak?" , "Wamena." kujawab.
Tersenyum dan mengangguk ia kepadaku, tanda betul jawabanku. Setelah itu, ia menawarkan kopinya kepadaku. Dengan skenario yang sama dan sampai ia bertanya jenis kopi itu. Karena masih familiar di lidah ku, "gayo" kusebutkan lantang. Setelah itu ia bercerita, bahwa kopi merupakan komoditas tani yang menjanjikan di Indonesia. Bahkan beberapa jenis kopi di nilai paling baik kualitasnya di dunia.
Berdiskusi kami tentang Indonesia, sampai satu bahasan Ia tiba-tiba bernasehat.
"Anak, Indonesia merupakan Negara besar. Butuh usaha dan perjuangan besar jika Anak mau memajukannya. Jadi berhenti merengek dan mengasihani diri sendiri.
Anak, mendunialah. Indonesia sangat sempit untuk orang berpikiran besar, tapi kembalilah ke Indonesia, tempat ibumu mengandung dan mendoakanmu.
Anak, balas budilah. Indonesia memberimu air, tanah, sawah, buah, hutan, laut, awan dan gunung. Jangan lupa ketika kamu sudah jauh di negeri orang.
Anak, lampaui batasan. Tabrak rasa malas dan keraguan. Bunuh egoisme dan keangkuhan.
Anak, jangan malas bersusah-susah. Karena senang hanya datang setelah susah, semakin panjang kamu bersusah, semakin panjang kamu bersenang.
Anak, berhenti mengeluh dan menyalahkan. Mulai buat perubahan dan mulai membagikan , agar jagat raya padat dengan kebaikan.
Anak, budayakan berdiskusi. Negara besar ini lahir karena pendahulunya tidak beranjak bermalam-malam hanya untuk mau dijadikan apa negara ini.
Anak, jangan tinggalkan agama. Agama akan menjagamu dari berisiknya perut dan logika liarmu.
Anak, manusia itu setara. Tidak ada miskin dan kaya, tidak ada pimpinan dan anggota, tidak ada pejabat dan orang biasa. Mereka semua setara, susah sama susah, senang bagi senang.
Anak, keluarlah dari rumah. Cari kebaikan baru yang mana orang tuamu tak bisa semua ajarkan. Pergilah ke tempat-tempat tinggi, atau selami lautan itu.
Anak, walau patah tulangmu, walau kaku lidahmu, walau hancur lebur tubuhmu. Jangan kehilangan harapan, bahwa suatu saat kamu bisa buat kebaikan.
Anak, walau patah tulangmu, walau kaku lidahmu, walau hancur lebur tubuhmu. Jangan kehilangan harapan, bahwa suatu saat kamu bisa buat kebaikan.
Anak, kami sudah ringankan kaki dan pundakmu dengan doa-doa kami, dahulu kamu menangis keras, tanda kamu sadar bahwa hidup itu akan menjadi keras. Kami sebagai orang tua. Tidak meminta timbal balik jikalau suatu saat kamu kaya. Hidupmu akan menjadi hidupmu. Yang penting, Anak. Doakan bangsamu, keturunanmu dan dunia di zamanmu akan menjadi kebaikan buatmu. Dan silahkan berbahagia dengan caramu.
Anak, walau suatu saat kamu menjadi aktivis di kampus besar yang tersohor namanya, atau suatu saat kamu menjadi petualang handal di belantara kehidupan , atau suatu saat kamu menjadi tokoh yang tersohor kearifannya. Bagi kami, Anak kami tetap bayi kecil yang pernah kami timang-timang, kami gendong keliling jalan, kami manjakan bak malaikat kecil titipan Tuhan, Jangan lupakan itu, Anak"
Anak, walau suatu saat kamu menjadi aktivis di kampus besar yang tersohor namanya, atau suatu saat kamu menjadi petualang handal di belantara kehidupan , atau suatu saat kamu menjadi tokoh yang tersohor kearifannya. Bagi kami, Anak kami tetap bayi kecil yang pernah kami timang-timang, kami gendong keliling jalan, kami manjakan bak malaikat kecil titipan Tuhan, Jangan lupakan itu, Anak"
Tak terasa berderai sudah air mata, saat aku termangu mendengar nasihatnya. Di usapnya air mataku olehnya, sambil tersenyum. Ia memintaku untuk melanjutkan hidangan kopi yang ia buatkan untukku, bagiku, kopi itu penuh doa dan harapan yang ia titipkan untukku suatu saat diwaktu yang akan menjadi waktuku.
"Sederhana itu mempesona dan logis itu tampan." kata terakhirnya.
Komentar
Posting Komentar