Berlalu
Aku melihatmu.
Dari seberang sebuah ladang kehijauan, saat kau dengan gaun putihmu melagukan senandung syahdu tentang kehidupan. Aku ingin mencoba menghampirimu, tapi aku takut mengganggu senandungmu. Aku takut mengotori gaun putihmu. Lalu tak ada lagi kesempatan untuk sekedar menatapmu. Untuk sekedar mengagumimu.
Aku tak tahu kau sadar atau tidak, aku tak tahu kau menyadari keberadaanku atau tidak, aku tak tahu kau merasakan maksudku atau tidak. Namun setidaknya, lihatlah mataku. Balaslah tatapanku, carilah. Apa ada kau didalam sana? Apa kau sama sekali tidak melihat ada seseorang yang mengharap balasan didalamnya?
Kekaguman itu menyakitkan, akui saja. Aku bukan seorang pengemis, yang meminta. Aku bukan binatang buas, yang menerjang. Aku bukan aktor, yang mencari perhatian. Aku diriku, yang tak mampu membuat retorika representatif dari segala kekaguman yang tumbuh. Aku diriku, yang tak mampu menunjukkan gestur kekaguman yang nyata. Aku diriku, yang bahkan tak mampu membuktikan bahwa aku layak untukmu.
Masih menatapmu.
Saat kau sedang asyik dengan nyanyian-nyanyianmu, memandangimu dari sisi tergelap seorang pengagum, dari fajar hingga senja. Sampai saat yang paling menyakitkan tiba, kau pergi dari situ. Kembali kepada kesibukanmu, menghilang dari pandanganku. Namun sayangnya, lisan ini tak mampu berteriak, lengan ini tak mampu merengkuh, kaki ini tak mampu melangkah kearahmu untuk menyampaikan maksudku. Dari situ aku paham, tak ada yang bisa kulakukan.
Aku memilih berlalu.
Komentar
Posting Komentar