Sama Sama Menunggu

11 Desember 2017

Tulisanku muncul lagi.



Kita berdua tau, kita menumbuhkan rasa yang sama. Menatap dengan kekaguman yang sama. Dan berbicara dengan nada yang senada. Kita beresonansi, saling menyambut sinyal-sinyal yang terpancar melalui tingkah laku kita. Kita sadari itu, tapi kita menampiknya dengan pikiran egois. "Kalau ia tak lebih dulu, tak mungkin aku." 

Setidaknya sebelum lebih lanjut membahas kesamaan dan keselarasan, aku sudah menemukan garis tengah atas keserasian. "sama-sama egois" kita tumbuh dengan pikiran itu. Semakin lama kita bersua, semakin tak mau memulai kita. Bagai kita bertemu dipersimpangan jalan yang sama, lalu bertatap, bertukar senyum sampai akhirnya saling melewati dan memunggungi.

Tapi hebatnya kita tidak pernah saling melupakan dan terus-menerus saling merindukan. Membuat hiperbola-hiperbola yang sama, menulis dengan susunan aksara yang sama dan melukis dengan kehampaan yang sama. Dan lagi-lagi kita saling membiarkan. "Begini saja tak apa", kataku dan kuyakin juga katamu.

Kita sama-sama menanyakan pada diri sendiri, sampai kapan akan begini? apa perasaan ini cuma akan lewat atau akan menjadi sebuah realisasi? Dan kita sama-sama menanyakan satu sama lain, kapan kau akan menghampiriku dan meneriakkan perasaanmu? Kapan kau akan memberitahukan bahwa semua tulisan, puisi, lukisan dan lagu itu hanya untukku seorang? 

Lagi-lagi kita tak begitu, kita sama-sama takut mendengar jawaban masing-masing. Bahwa sebenarnya salah satu dari kita tak sesuai dengan apa yang kita sangka. Bahwa perasaan itu sebenarnya tidak ada. Dan parahnya lagi, bahwa semua hiperbola yang diilustrasikan dalam bentuk-bentuk yang indah itu bukan untuk salah satu dari kita, namun untuk orang lain.

Maka dari itu, sama-sama menunggu, kita anggap lebih baik. Walaupun tak berujung, dan tak akan lebih baik di waktu yang akan datang. Sampai kita sama-sama saling melupakan, dan mendapat orang lain untuk dijadikan tambatan.

Selamat sama-sama menunggu, aku penasaran.

Siapa yang lebih lama bertahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu