Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2018

Aku dan Mahameru

Beberapa bulan yang lalu, saat waktu belum terasa sefana ini. Aku memutuskan untuk pergi. Mengemas barang-barang dalam tas besar yang sebenarnya sangat enggan kuangkat. Tenda untuk berkemah, Logistik untuk menyambung hidup dan alat lain yang dapat menunjang keselamatanku. Sekedar informasi saja, perjalanan merupakan tempat bertaruh nyawa dan mendaki berarti kamu membahayakan nyawamu senyatanya dan secara terang-terangan! Namun bagiku, Tuhan sudah mengatur segalanya. Dan melangkah merupakan satu-satunya pilihanku, untuk diriku yang baru. Poin terpenting dalam perjalanan ini adalah, aku sendirian. Berikrar tak menghubungi siapapun kecuali orang tua, itupun terkait izin dan melaporkan kondisiku yang terkini. Bertekad untuk menyelesaikan semuanya, sendiri. Lalu kembali. Aku berangkat ke Stasiun, menunggu kereta yang akan kutumpangi sampai Malang. Sambil menunggu, kubaca pengetahuan umum yang sekiranya dapat membantuku dalam mendaki Gunung itu. Cemas, itu yang kurasakan. Tapi tekad

Singularitas.

Kalau meracau di tekstualkan, begitulah tulisanku beberapa terbitan yang belakang. Kerap kali aku mencari bahan pelampiasan, namun entah kenapa aku lebih suka mencaruti kehidupan dalam tulisan. Karena itu terekam, dengan menulis aku abadi. Mempersetankan waktu. Riuh tak lagi membuatku nyaman, buat apa jadi bagian dari keramaian kalau keberadaanku terasingkan. Seperti kata orang bijak, lebih baik berteman dengan keheningan daripada tenggelam dalam gaduh keramaian. Dan dari situ pun aku jadi paham, semua yang pernah menjabat tanganku tak serta merta menjadikannya teman yang benar-benar 'teman'. Bentuk watak manusia sekarang makin variatif. Semakin banyak variasinya semakin sulit aku untuk menyesuaikan diri dan semakin banyak aku memunafikkan perlakuanku kepada masing-masing jenis manusia tersebut. Sangat merepotkan bagiku. Bersosialisasi bagiku sekarang hanya sebatas memenuhi kebutuhan sosial. Sementara untuk memperkaya jiwa agar lebih bermakna, berdiam di keheningan d

6 semester.

18 Maret 2018. Hampir 3 Tahun. Aku memupuk pemahaman. Apa yang sebenarnya yang menjadi esensi menempa ilmu di perguruan tinggi. Satu-dua orang kutanya, tiga-empat variasi jawabannya. Kalau hanya untuk bekal bekerja, kerbau disawah juga bekerja. Kalau hanya jadi produk presisi dengan tingkat produktivitas yang tinggi, apa bedanya dengan mesin di pabrik-pabrik. Kalau hanya jadi cecunguk pengejar indeks gelar berkedok prestasi dan kualitas diri , buat apa sekolah tinggi. Lalu mencari jawaban sendiri adalah keputusanku paling dini. Ternyata perguruan tinggi hanya sebutan, yang meninggikan ilmu bukan perguruannya. Tapi individu yang sedang menimba ilmu itu sendiri. Aku merasa 'tinggi' karena aku berusaha memposisikan diriku tinggi dari yang lain. Dalam artian sebanyak apa yang aku dapat dari pencarianku. Dan tanggung jawabku untuk meneruskannya ke orang lain. Ilmu bukan pencapaian pribadi, ilmu adalah tanggung jawab yang dititipkan Tuhan untuk dibagikan orang lain. Ilm

Salah Sangka

Realita itu getir. Sekarang hiperbolaku menjadi dosa. Aku selalu menghiperbolakanmu. Memutar logika, menemukan kata lalu merangkainya menjadi nada yang setidaknya pantas dibaca. Kata orang yang membaca tulisanku, aku sok puitis. Kepuitisan itu tak nampak dari tingkah laku bahkan raut muka. Namun mereka tak tahu aku belajar puitis. Kalau tak mengharap perasaanmu mana mungkin aku berpuisi dengan tema yang sangat hiperbolik.  Kalau kau rutin membaca tulisanku, berpikirlah. Tulisan ini perlu kau baca dua tiga kali. Yang tertulis hanya permukaannya, pemaknaan tetap aku dan Tuhan yang paling mengetahuinya. Tapi setidaknya, jangan sekali lewat. Itupun kalau kau mau dan sempat. Tulisanku hanya memaksaku yakin kau benar-benar menaruh rasa padaku. Itupun karena kubaca juga tulisanmu. Kukira melalui tulisan kita bisa mensingkronkan, saling membalas, mengharap dan mendoakan dalam diam. Ternyata semua hanya anggapan, aku terlalu naif. Ungkapan soal  saling membiarkan dan bertahan rupany

Kontradiksi.

Tengah malam, aku menulis. Untukmu dan jalan juangmu. Kemarin kulihat pipimu memerah, entah itu riasan atau sikap malu karena frekuensi yang dulu sudah hilang dan terasa canggung kembali, tapi tak kupikirkan lagi itu.  Aku tetap melihatmu penuh keteraturan, tertata rapih dalam mencapai tujuan. Kau selalu mempertahankan kesempurnaan. Dan gambaran itu tak pernah lepas darimu. Aku tak melihat pola, aku hanya melihat konsistensi. Aku melihatmu hidup di kertas putih. Yang setiap hari kau tulis dengan teori hidupmu dan proyeksi masa depanmu. Sementara itu, bagiku guru terbaik adalah momen. Aku memilih untuk mengejar warna. Mencari makna. Melihat dari perspektif yang tak bisa orang bayangkan tentang suatu hal. Aku mengkalkulasikan ketidakteraturan. Merangkumnya menjadi hal yang ringkas. Lalu mengkorelasikannya dengan kehidupan. Karena itu aku belajar semua dan aku bebas. Aku tinggal dengan imajinasi yang liar dan idealisme yang merangsek ingin keluar. Aku jatuh karena mengambil