Aku dan Mahameru

Beberapa bulan yang lalu, saat waktu belum terasa sefana ini. Aku memutuskan untuk pergi. Mengemas barang-barang dalam tas besar yang sebenarnya sangat enggan kuangkat. Tenda untuk berkemah, Logistik untuk menyambung hidup dan alat lain yang dapat menunjang keselamatanku. Sekedar informasi saja, perjalanan merupakan tempat bertaruh nyawa dan mendaki berarti kamu membahayakan nyawamu senyatanya dan secara terang-terangan! Namun bagiku, Tuhan sudah mengatur segalanya. Dan melangkah merupakan satu-satunya pilihanku, untuk diriku yang baru.

Poin terpenting dalam perjalanan ini adalah, aku sendirian. Berikrar tak menghubungi siapapun kecuali orang tua, itupun terkait izin dan melaporkan kondisiku yang terkini. Bertekad untuk menyelesaikan semuanya, sendiri. Lalu kembali.

Aku berangkat ke Stasiun, menunggu kereta yang akan kutumpangi sampai Malang. Sambil menunggu, kubaca pengetahuan umum yang sekiranya dapat membantuku dalam mendaki Gunung itu. Cemas, itu yang kurasakan. Tapi tekadku sudah bulat. Berharap mentalku naik tingkat. Tak terasa begitu lama, kereta datang. Dengan berbagai lafadz Tuhan yang kupahami, langkah pertamaku dimulai dari menaiki kereta itu.

Sampai di kota Malang pagi hari, walau mata masih terasa sangat berat. Karena semalam tak bisa tidur, selain karena tegaknya bangku kereta. Juga karena paranoid tentang apa yang akan terjadi di kemudian hari. Singkatnya aku berhasil menemukan angkutan sampai Pasar Tumpang, disana aku berkenalan dengan pendaki lain yang kebetulan sama-sama berasal dari Jakarta, ada juga yang dari Semarang, kampung halaman orang tuaku. Dari perjalanan ini juga aku belajar, orang baik itu (tidak) sedikit.

Berdiskusi aku setelahnya, dan saling sepakat untuk naik Jeep yang sama menuju Ranu Pane. Selang waktu, Jeep sudah tersedia dan dengan segera kami berangkat ke Basecamp Ranu Pane. Perjalanan menuju Ranu Pane terhitung singkat. Mungkin karena mata dimanjakan oleh keindahan lansekap, mulai dari kebun apel, daerah pertanian, lembah dan punggungan yang menjulang membentuk relief yang meremajakan mata.

Sesampainya di Base Camp Ranu Pane, aku dan reguku tertimpa naas. Pagi hari itu pendakian sudah tutup kuota, dengan maksimal 500 pendaki setiap harinya. Terpaksa aku harus menunggu sampai esok hari, lalu diputuskan kami bermalam di pelataran musholla. Mungkin bagi mereka yang kental dengan kehidupan gemerlap metropolitan agak asing tidur di emperan musholla, tapi cukup bagiku untuk menghabiskan malam hari pertama.

Tiba saat yang dinantikan, sepatu gunungku sudah tak sabar ingin menginjak gemburnya tanah jalur pendakian. Jalur awal pendakian dimulai dengan jalan berbatu, agak menanjak dan melingkar-lingkar. Satu-dua pos tak terasa sudah kulampaui, uniknya setiap pos disini menjajakan gorengan hangat dan buah semangka potong yang segar. Sehingga selalu ada godaan untuk sejenak merebahkan badan, menyulut rokok dan berbincang dengan sesama pendaki yang rehat sementara.

Lelah itu lepas bersama tawa obrolan kami, walaupun kenal baru hitungan jam. Rasanya kami sudah bisa menggantungkan segalanya di pundak bersama. Sampai tak terasa, 4-5 jam aku tiba di Surga, Ranu Kumbolo. Tak pernah terbayangkan ada tempat seindah ini, ingin kubagi, sayangnya kali ini aku harus menikmatinya sendiri. 

Aku rebahkan tubuhku sejenak, memandangi punggungan yang mengelilingi danau dan manusia lain yang sedang bersenda gurau. Indahnya, menyatu dengan mereka yang punya tujuan sama. Kudirikan tenda kapasitas satu, kutata selayaknya kamar di kota. Dan mulai memasak, sembari menunggu hari esok. Malam harinya, ketika dingin sedang menggila. Aku keluar berharap bisa menemukan bintang untuk kuajak berbincang. Tak terasa, perbincangan membawaku lupa waktu, rupanya sudah pukul 2. Sementara, pagi-pagi betul aku harus sudah siap melanjutkan pendakian. Astaga.

Pagi hari, aku sudah siap dengan tas besar dipunggungku. Sudah berkuda-kuda untuk menaklukkan Tanjakan Cinta, dengan mitosnya yang entah apalah itu. Tanjakan yang cukup terjal secara singkat kudaki, dan mulai terlihat surga kedua dari rangkaian pendakian ini. Oro-Oro Ombo, merupakan hamparan padang rumput yang luas. Dengan satu jenis tumbuhan yang menyerupai lavender tumbuh subur menghampar sejauh pandangan mata. Ladang keunguan yang setiap pendaki yang pernah pergi ke sana, tak bisa melupakan keindahannya.

Puncak para dewa yang agung itupun sudah mulai terlihat, optimismeku untuk menaklukkannya pun semakin meluap-luap. Dengan sedikit senyuman di ujung bibir, aku melangkah cepat. Seperti didorong semesta, menaiki angin. Tak terhitung lama, aku tiba di Kalimati. Pos pendakian terakhir, sebelum memuncaki bagian klimaksnya.

Malamnya sekitar pukul 22.00, aku mengemas peralatan dan makanan. Konon katanya, bagian inti dari mendaki Semeru adalah puncaknya. Walau tak direkomendasikan oleh petugas setempat karena berbahaya. Tapi risiko kutanggung sendiri. Kulangkahkan kaki dan kusiapkan hati. "Tuhan bersama orang-orang pemberani", kataku sembari melawan cemas. Langkahku disambut dengan jalur yang begitu mendaki, penuh akar tumbuhan dan sempit.

Sesampainya di Arcopodo, sejenak aku mampir di batu kenangan sang legenda, Gie. Bukti kebesaran alam dan bukti kerdilnya kita. Tak berlama-lama, kubakar lagi semangat dan ambisiku untuk memuncak. Jalur semakin terjal, dengan kemiringan yang menantang otot-otot kaki.

Selangkah demi langkah, titik tertinggi semakin dekat. Tepat pukul 5, aku sampai di titik tertinggi Gunung Semeru. Haru, itu yang kurasakan. Betapa syukurnya aku bisa melangkah sejauh ini dengan selamat. Dan berhak mencium tanah tertinggi di pulau Jawa. 

Tak kuhabiskan waktu lama, 2 jam setelah itu aku memutuskan turun. Perjalanan menurun sangat cepat, tak terasa sudah sampai di tempat berkemah. Singkat cerita, 2 hari setelahnya aku kembali ke Jogja. Menjalani rutinitas kembali dengan enggan, namun apa daya tak bisa kulawan.

Perjalanan ini mengajarkanku banyak hal, ketika orang zaman sekarang skeptis terhadap keramah tamahan manusia lain. Aku menemukan bahwa kita hanya perlu kepositifan untuk menyebarkan hal positif lainnya. Kebaikan itu banyak, tinggal kita yang butuh untuk menguak .Pendakian tak menjadikan kita menaklukkan apapun, bahkan diri sendiri. Pendakian dan perjalanan hanya mengajarkan bahwa pulang adalah hal yang paling utama. Seperti orang bijak katakan, pergi untuk pulang dan pulang untuk pergi lagi. Perjalanan mengajarkan kita bahwa pulang bukan berarti kita menyerah dengan ketidaknyamanan di jalan, namun untuk menyiasati dan mengatur strategi untuk perjalanan yang lebih bermakna lagi!

Bagiku Ranu Kumbolo adalah rindu yang saking menumpuknya ia sampai mendanau.
Dan Puncak Mahameru adalah titik balik seorang yang mendakinya untuk segera mempersiapkan pulang.

Ceritaku,
Aku dan Mahameru.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu