Singularitas.


Kalau meracau di tekstualkan, begitulah tulisanku beberapa terbitan yang belakang. Kerap kali aku mencari bahan pelampiasan, namun entah kenapa aku lebih suka mencaruti kehidupan dalam tulisan. Karena itu terekam, dengan menulis aku abadi. Mempersetankan waktu.

Riuh tak lagi membuatku nyaman, buat apa jadi bagian dari keramaian kalau keberadaanku terasingkan. Seperti kata orang bijak, lebih baik berteman dengan keheningan daripada tenggelam dalam gaduh keramaian. Dan dari situ pun aku jadi paham, semua yang pernah menjabat tanganku tak serta merta menjadikannya teman yang benar-benar 'teman'.

Bentuk watak manusia sekarang makin variatif. Semakin banyak variasinya semakin sulit aku untuk menyesuaikan diri dan semakin banyak aku memunafikkan perlakuanku kepada masing-masing jenis manusia tersebut. Sangat merepotkan bagiku. Bersosialisasi bagiku sekarang hanya sebatas memenuhi kebutuhan sosial. Sementara untuk memperkaya jiwa agar lebih bermakna, berdiam di keheningan dan menggila dalam tulisan lebih baik bagiku. 

Dalam kesendirian, aku dapat menguak sisi dimana aku dan Tuhanku saja yang tau. Sisi paling empiris yang kaku dan terkotak. Sampai sisi liar yang imajinatif, abstrak dan meledak-ledak. Bagiku, tulisanku sudah kaya makna. Aku menulisnya dengan campuran logika dan bahasa imajinasi. Supaya terlihat warna yang tak kasat mata bagi mereka yang memahaminya.

Lalu kuciptakan 'dia', bentuk imajinatif dari gadis nyata yang selalu aku hiperbolakan, agungkan dan kagumi dalam tulisanku. Dan mulai kumainkan aksara-aksara percintaan, rasa kasih sayang, putus asa, rindu, depresi dan perasaan lain yang tak tentu. Alasannya agar terbentuk ilustrasi seolah-olah aku menggambarkan 'dia' dari perspektif masing-masing pencari makna dalam tulisanku. Walaupun sebagian besar tulisanku menggambarkan betapa nestapanya aku. Karena senyatanya, aku bahkan tak tau 'dia' yang kutuliskan semalam suntuk itu, sadar kalau 'dia' memang 'dia'. Ah, sudah. Membahas 'dia' butuh lusinan hari untuk menyelesaikannya.

Ironisnya, pikiran empirisku yang kutuangkan dalam tulisan minim peminat. Fitur statistik menunjukkan angka yang mengindikasikan itu. Entah mungkin manusia lebih tertarik ketika segalanya berkaitan dengan perasaan. 

Ketika manusia sejawatku sedang sibuk mengejar sebuah pencapaian, aku sibuk, atau sengaja menyibukkan diri dengan mempelajari semua hal. Aku mengerjakan yang tak orang lain kerjakan. Mempelajari fitur-fitur yang dapat menunjang daya imajinasi, mewadahi antusiasmeku, mengembangkan logikaku dan menempa jiwaku. Apapun itu. Lagi-lagi aku lebih suka melakukannya sendiri. Aku merasa lebih maksimal.

Aku tak suka melakukan hal-hal umum. Mereka tak jarang menjustifikasiku, tentang mengapa aku mendaki, menyelam, bermusik, berpuisi atau tentang betapa cengeng atau sok realisnya tulisan, kegiatan ataupun tindak tandukku. Namun tak apa, mereka yang sama tak ada pembeda. 

Karena itu, sendirian memaksimalkan potensiku. 

Singularitas melawan batas.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu