Kontradiksi.
Tengah malam,
aku menulis.
Untukmu dan jalan juangmu.
Kemarin kulihat pipimu memerah, entah itu riasan atau sikap malu karena frekuensi yang dulu sudah hilang dan terasa canggung kembali, tapi tak kupikirkan lagi itu. Aku tetap melihatmu penuh keteraturan, tertata rapih dalam mencapai tujuan. Kau selalu mempertahankan kesempurnaan. Dan gambaran itu tak pernah lepas darimu. Aku tak melihat pola, aku hanya melihat konsistensi. Aku melihatmu hidup di kertas putih. Yang setiap hari kau tulis dengan teori hidupmu dan proyeksi masa depanmu.
Sementara itu, bagiku guru terbaik adalah momen. Aku memilih untuk mengejar warna. Mencari makna. Melihat dari perspektif yang tak bisa orang bayangkan tentang suatu hal. Aku mengkalkulasikan ketidakteraturan. Merangkumnya menjadi hal yang ringkas. Lalu mengkorelasikannya dengan kehidupan. Karena itu aku belajar semua dan aku bebas. Aku tinggal dengan imajinasi yang liar dan idealisme yang merangsek ingin keluar. Aku jatuh karena mengambil risiko namun jatuh hanya mengajarkanku untuk bangkit dan melupakan sakit.
Kita berbeda, namun sekarang aku tak tau lagi apakah kita saling mengharap hal yang sama. Dan menjadikan kita kontradiktif senyatanya.
Komentar
Posting Komentar