Belenggu



Aku bingung dengan jatuh cinta, apakah aku harus merengek layaknya barang rongsok yang meminta untuk dipakai kembali. Apa aku harus memohon seperti para pengemis yang susah makan. Apa aku harus menjerit seperti orang yang kehilangan harga dirinya. Apa aku harus membuat sajak-sajak indah nan puitis. Apa aku harus menyenandungkan lagu dengan suara merdu. Apa aku harus romantis layaknya pujangga pengembara.

Aku bosan dengan kisah-kisah, lagu-lagu, sajak-sajak dan puisi-puisi cinta. Aku pikir semua itu hanya retorika. Analogi-analogi yang tak tersampaikan. Hasil dari biasnya pemahaman akan hak perasaan. Kupikir hal-hal itu hanya representasi akan lemahnya pendirian.

Kenapa jatuh cinta serepot itu. Bagaimana dengan orang yang terlalu fakir, apa ia tak  berhak untuk jatuh cinta. Bagaimana dengan orang yang tak mengerti romantisme, apa ia juga tak masuk kriteria untuk orang yang boleh jatuh cinta. Kenapa jatuh cinta malah jadi lebih seperti kutukan, padahal yang ku tau ini anugrah.

Tapi mengapa, dengan segala kebosanan itu aku tetap tak bisa memalingkan pandanganku padamu. Sesampai aku rela dengar keluh kesahmu, aku rela jadi sandaranmu, meski semalaman.

Ya, memang aku jatuh cinta.

Memang,aku jatuh cinta dengan warna-warnimu, dengan cekungan senyummu, dengan langkah lembutmu, dengan tajam tatapmu, dengan segalamu, dengan kebijaksanaanmu, dengan eleganmu, dengan tingkahmu , dengan keceriaanmu. ku suka ketika semesta tak sengaja mempertemukan kita. Iya, aku akui itu. Bilang saja aku hiperbola, bilang saja aku berlebihan, bahkan bilang saja aku gila. Bilang saja.

Entah mengapa pesonamu sangat berat untukku, seakan tertarik dalam tatapmu. Aku tak berani dekat denganmu, rasanya tangan ini terlalu jauh untuk merengkuhmu. Aku hanya bingung mengapa sampai seperti ini, padahal kita terlalu beda untuk jadi sama, terlalu jauh untuk jadi dekat.

Aku hanya bisa bersembunyi dibalik tudung hitamku, merenung dalam ragu. Aku hanya bisa memelukmu dengan tatapku. Menduga-duga apakah kau akan membalas pelukku. Berharap kau segera menoleh kearahku, tapi walau begitu. Aku takkan sanggup bertatap denganmu, aku terlalu pengecut untuk itu.

Tunggu, sampai keberanian ini menumpuk dan meledak dalam hatiku. Sampai mulut ini sanggup bergeming didepanmu, sampai kaki ini kuat untuk melangkah kearahmu. Kumohon tunggu disitu, yakinlah aku menatapmu dari sini, tempat yang takkan pernah kau tau dimana.

Jangan, jangan sampai kau merasa sepertiku. Ini berat dan menyakitkan. Ini tak mudah hilang, ini kambuhan. Tolong jangan beranjak dari situ, jangan cari aku. Tetaplah melangkah dengan pasti dijalur yang kau yakini. Biar aku tak disampingmu aku tetap dapat menggandengmu. Dengan doa ku.

Rasa-rasanya hati ini berteriak, menjerit sakit. Tersayat jarak dan waktu, terkekang situasi dan kondisi. Kulitku gemetar ketika ingat saat kau pernah menyentuhku dulu. Entah kenapa semua ini menjadi hiperbola, menjadi candu bagiku.

Biarlah, biar sajadah ini kusam dengan sembahyang-ku. Biarlah Tuhan bosan betapa seringnya namamu kusebut dalam doa-ku. Biar aku yang begini, tak apa. Rasanya cukup teduh disini, melihatmu dari bawah pohon bisu.

Semoga semesta masih akan berbaik hati padaku, memberi ketidaksengajaan untuk bertemu di ujung jalan itu, tempat pertama kita bertemu. Saat itu, tolong terima aku atau kembalikan hatiku. Jangan bawa pergi. Hak-mu untuk memilihku atau melupakanku.

Kalau kau memilih untuk melupakan aku, silahkan. Biar tubuh ini terinjak-injak, tercabik-cabik oleh patah hati. Lekaslah pergi, supaya mataku tidak lagi candu kepadamu. Biarlah tangan ini menggenggam duri kehilangan, biarlah berdarah-darah.

Kuatkan aku dengan kepergianmu, dengan kebahagiaan-kebahagiaanmu, dengan kabar baik tentangmu. Jangan sekali-kali kau mengambil langkah mundur atau bahkan menoleh untuk melihatku. Biarlah aku jauh, biarlah.

Jangan cemaskan aku, serbuk sari tidak akan menyalahkan lebah ketika ia gagal bertemu putik. Begitu juga aku, tidak akan menyalahkan takdir bila ia tak mempertemukanku denganmu di ujung waktu.

Tetapi kalau memang mungkin, kembalilah padaku. Lepaskan lelah hati ini dari berharap, kasihan dia. Sudah usang karena meragu. Berikan candu yang selama ini aku sakau karenanya. Genggamlah kembali tanganku, Melangkahlah kembali bersamaku. Tataplah dalam-dalam diriku, carilah ragu. Rasakanlah genggam tanganku, carilah tulus.

Aku hanya seorang fakir, seorang non-romantisme. Aku penganut  individualisme, aku pemuas diriku sendiri. Aku lama melangkah sendiri jadi maaf bila aku kikuk. Aku lama menjelajah semesta, sampai lupa aku masih berputar di orbit yang sama. Aku terlalu nyaman terlindungi tinggi semak-semak. Aku tersesat dalam zona nyamanku sendiri.

Entah pada akhirnya aku akan terbunuh atau terbuai, aku terima semua itu. Aku hanya tak tahan diam, tak tahan bohong. Aku kasihan dengan hatiku, sudah terlalu lama aku mengkhianatinya. Sudah lama aku membiarkanya sepi, usang tak terurus dan tenggelam dalam belenggu.

Taste it, beginilah rasa jatuh cintaku. Begitu hambar, kasar. Tapi dari situlah setiap elemen bumbu yang sudah kuhaluskan dapat terasa di hati. Tapi sebuah tanda tanya besar bagiku, apakah bumbu  ini terasa enak di hatimu. Apa kau dapat merasakan setiap bahan yang sudah kutumbuk jadi satu ini. Apa semua ragam bahan ini dapat membuahkan rasa yang menyentuh.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu