Watak


Aku melihat lelaki itu, melangkah  di selasar gedung. Dengan pandangan yang ringan, kepala sedikit mendongak , rambut ikal menutupi sebagian keningnya. Ia melewati beberapa orang diselasar itu. Bertemu beberapa teman sepertinya membuatnya sedikit antusias, namun dari sorot matanya tetap saja ia ingin independen.

Biasanya setelah di ruangan ia mengambil tempat duduk agak ditengah, menghindari perhatian yang tidak berarti. Walaupun begitu ketika dibutuhkan, ia dapat berbicara dengan lugas. Pembawaannya mencerminkan kebosanannya dengan rutinitas. Sepertinya ia punya banyak hal yang ia kerjakan diluar rutinitas yang biasa ia perlihatkan.

Kelihatannya ia orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, punya pemikiran sendiri dan punya pola perilaku yang khas. Walaupun begitu fleksibilitas juga terpancar ketika ia berbicara dengan orang lain, ia tidak kaku. Caranya memandang sesuatu selalu menghindari justifikasi akan presepsinya. Ia biasanya berlama-lama memikirkan suatu hal. Mungkin supaya ia tidak termakan egoisme pemikiran.

Ia biasa berjalan sendiri, masuk ke gang-gang sempit berkelok yang sepi. Tapi walau begitu dengan langkah ringannya seakan ia tahu kemana ia melangkah. Pasti, namun tak terprediksi. Hanya kedepan ia melihat dan tidak pernah menengok ke belakang untuk mengenang atau bersedih.

Ada kalanya ia menyendiri, dengan secangkir kopi dan tembakau berbalut kertas hitam. Dua setengah sendok teh ditambah suhu panas yang pas, menghasilkan secangkir inspirasi yang bisa jadi daya produktifnya. Ia bakar tembakau itu , asap ide dan inovasi mengalir disetiap hembusannya.

Ia terbiasa mendengar, bicara seperlunya saja. Meyakini bahwa mendengar, lebih baik dari berbicara. Apa yang dibicarakan orang adalah opini, pola komunikasi akan membawa pembelajaran sendiri baginya. Cara-cara berbicara , kapasitas menilai seseorang tentang sesuatu. Ia meyakini bahwa dengan mendengar variatifnya inovasi, akan menghasilkan inovasi-inovasi yang baru.

Mejanya terlihat berantakan, mungkin ia memperlakukan benda di meja itu sesuai prioritas. Mana yang ia dahulukan ia taruh di tengah, dan yang tidak, dibiarkan begitu saja. Tak lupa ada bekas kopi semalam. Juga notebook yang masih menyala, berisi tulisan-tulisan dan opini. Atau mungkin sebuah kisah.

Ia sering lupa, bermalam hingga rembulan tidur. Tidur hingga rembulan bangun. Tetapi tidak pernah ia kosong. Setidaknya kalau memang kosong ia selalu mengisinya, dengan enjoy versinya. Hari-harinya tak pernah berlalu begitu saja. Namun, tak pernah pula ia melebih-lebihkan sesuatu untuk sekadar memenuhi harinya.

Tapi siapa sangka, ia tidak bisa diam. Terlepas dari akar karakternya, ia berubah 180 derajat. Matanya mengerut, memandang tajam. Dengan raut muka ingin melawan dan memberontak. Berdiri di barisan paling depan, memegang pedang keberanian.

Tangannya lebih sering mengepal, memperjuangkan sesuatu. Yang menurut orang lain mungkin tidak perlu, tapi baginya sangat essensial. Dengan tangan yang selalu menghujam langit, teriakan-teriakan aspirasi memecah tinggi tembok blokade.

Selepas itu, ia lebih sering menyendiri. Mungkin ia bosan dengan kehidupan sebayanya, bicara tentang wanita-wanita. Mungkin baginya, belum waktunya. Makanya ia melarikan diri bahkan mungkin menutup diri untuk dekat secara emosional dengan seorang wanita.

Ia seorang penyayang, aku melihatnya mengambil dan mengubur kucing yang ditabrak orang. Kubayangkan, ia bahkan baik dengan seekor binatang yang mati, apalagi dengan seorang manusia yang hidup. Siapapun orang yang nanti akan berarti baginya, mungkin ia akan menaruh seluruh jiwa raga dan pikirannya untuk orang tersayang itu.

Mungkin orang menilainya sangat cuek akan sesuatu, mungkin memang. Tapi ia akan sangat memerhatikan orang yang ia anggap berarti. Itu sebabnya ia pelupa dan berantakan. Ia punya prioritas, punya hal yang harus diurus dan dipikirkan terlebih dahulu.

Ia menganggap hidupnya bukan menjadi orang baik, tapi orang yang selalu memperbaiki diri. Bagaimanapun parameter baik tidak ada, tapi memperbaiki diri tidak ada batas. Karena baik itu sendiri bukan tahap maksimal dari seseorang.

Ia menggabungkan abstraksi dari interaksi. Untuk mengekstrak kebaikan di dalamnya, karena ia percaya bahwa kebaikan datang dari luar, bukan dari dalam diri. Kebaikan itu ada, tapi dewasa karena kebijaksanaan.

Ia bukan mencari pembenaran akan sesuatu, ia mencari keselarasan. Mencari kolerasi-kolerasi yang dapat diterapkan untuk semua orang, agar bisa menerimanya. Mungkin dari semua itu, itu yang membentuk karakternya, itu  yang membentuk senyum ringan di bibirnya. Itu juga yang mungkin membentuk kebosanan-kebosanan atas rutinitas yang diluar ekspektasinya.

Orang mengenalinya hanya dari luarnya saja, pantas mereka misjudge. Mungkin hanya aku yang mengerti dia, yasudah. Siapa yang ingin kenal dia, bisa tanya aku. Aku sangat dekat, kata orang yang paling mengenalmu adalah diri sendiri.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu