Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Sepotong Rindu

Semenjak kita berjarak dan lama tak saling bertatap. Aku penasaran, ada rasa yang sangat mencekam yang bersemayam. Entah di organku sebelah mana, terasa sangat berat seperti serasa ingin memberontak dan mengoyak. Belakangan ini, aku belum sanggup mendefinisikan. Namun lama kelamaan aku mengerti. Ini resikonya. Resikonya aku mengikatmu. Dan memang setelah kurasakan lebih dalam, rasa ini muncul semenjak kita berpisah, lain tempat, lain waktu. Orang-orang menyebutnya rindu, tapi semua orang yang kuminta penjelasannya. Bagaimana bentuk rindu itu? Satu, sepuluh, seratus orang kutanya. Rindu versi mereka berbeda-beda. Rindu ini kejam, karena bagaimanapun kamu menggambarkannya ke orang lain. Rindu akan tetap subyektif. Dan akan selalu tergambarkan dengan bentuk yang egois. Mengapa Tuhan menciptakan rindu? mungkin dahulu kala, Adam dan Hawa, dilemparkan ke Bumi dengan terpisah jutaan kilometer jauhnya. Tuhan memberikannya dua potong rindu sebagai jaminan mereka berdua akan dipersatu

Begini Adanya

Aku tak mau muluk-muluk. Semua terserah padamu, dan apa yang ada dalam diriku, sepenuhnya prerogatifmu untuk menyimpulkan. Aku tak pernah membuat-buat sesuatu yang tak pernah kubuat. Atau mengada-ada sesuatu yang memang tidak ada. Aku bicara begini, karena kau begitu seringnya mempertanyakan. Sejauh apa aku bisa meyakinkanmu? Jujur saja, tidak bisa! Dan apa yang kau pertanyakan dari kemarin itu, aku tidak memiliki semuanya. Kau memintaku, di waktu masa depan nanti dengan materi? Aku tak memiliki bahkan 1 sen pun dalam kantongku. Karena itu aku tak sanggup menjaminmu dengan materi yang cukup. Lalu kau semakin membelitkan pertanyaan, kau memintaku menjamin dengan kesetiaan? Tak perlu selamanya, esok pun. Hati manusia akan berubah dan terus berubah. Lalu kau memaksaku menjaminmu dengan setia, bagaimana kalau Tuhan membolak-balikkan hati ini? dan atas kehendaknya aku berpaling? Sudah, aku menjawab, tak bisa menjaminmu dengan kesetiaan. Kemudian kau bertanya lagi, bagaimana d

Aku Takut

Kau bilang, kau menyukai lautan. Tapi ketika desir ombak mulai mendekatimu. Kau malah menghindar, lari ketepian. Kau bilang, kau menyukai pegunungan. Tapi ketika kau mendaki ke ketinggian. Kau malah mengeluh, kelelahan. Kau bilang, kau menyukai dingin. Tapi ketika angin mulai berhembus. Kau malah mencari kehangatan. Kau bilang, kau menyukai bulan. Tapi ketika ia sedang bersinar terang. Kau malah terlelap, tak menyaksikan. Kau bilang, kau menyukai kesendirian. Tapi ketika sedang hikmat merenung. Kau malah gelisah, kebosanan. Kau bilang, kau menyukai hujan. Tapi ketika ia turun dengan deras. Kau malah berteduh, takut kebasahan. Karena itu, aku takut ketika. Kau bilang, kau menyukai aku.

Senandung Semesta

Suatu ketika aku pergi ke tempat yang beberapa kali pernah kudatangi. Tempat dimana bintang-bintang terlihat jatuhnya. Dimana zat-zat yang terobsesi sepi, akhirnya bersemi, saling menyemangati dan memaklumi. Dan api unggun yang dinyalakan disana begitu hangat, menemani malam yang dingin menyengat, serta secangkir minuman yang rasanya banyak ditolak orang, namun maknanya tidak, apalagi kalau bukan kopi. Bicara tentang bintang, aku banyak berbincang dengannya. Ia penyabar, menungguku menghampiri , sekali waktu dalam beberapa bulan di pucuk-pucuk gunung. Aku bercerita padanya, tentang bagaimana kabar bumi sekarang. Walau ia tak pernah memberi gambaran, bagaimana kabar langit yang sekarang. Tapi katanya, langit bersedih melihat bumi. Karena penghuninya sudah tidak bersahabat lagi. Bintang sering tertawa ketika bagaimana manusia mengucapkan harap saat ia berjatuhan. Karena katanya, sejatinya ia bukan pengabul harapan. Namun kalau hanya berbicara sebagai teman, ia mampukan. Asalkan

Aku Ingin

Tuan, aku ingin jatuh dalam asmara. Jatuh sejatuh-jatuhnya saat berhiperbola. Layaknya butir hujan saat senja. Menunggu jatuh diujung kelopak seroja. Tuan, aku ingin seseorang pengisi. Seseorang yang kutuliskan berjuta puisi. Wanita yang kupilihkan banyak diksi. Akan kubuat ia seperti Putri. Tuan, aku ingin melagu. Menyenandungkan nada-nada sendu. Kupandang ia disebelahku. Kulantunkan segalanya tanpa ragu. Tuan, aku ingin kekekalan. Bukan jiwa dan raga seorang perempuan. Asalkan cintanya yang tak berzaman. Tak apa waktu tertahan. Tuan, aku ingin menari. Layaknya pangeran dan permaisuri. Sejenak melupakan batas dimensi. Mengkhayalkan rasa abadi. Tetapi Tuan, simpanlah ia dulu. Tunggu sampai hati ini berhenti meragu. Dan kehilangan segala rancu. Baru datangkan ia padaku.

Jangan kamu lagi

Tidak, tidak. Jangan peristiwa itu lagi, hal itu sudah terngiang semenjak beberapa waktu lalu. Terulang-ulang sampai terasa menjemukan. Jangan hal-hal itu lagi. Tidak, aku tidak mau menghiperbolakan segala sesuatu lagi. Aku tidak mau lagi merangkai syair-syair. Aku tidak mau lagi melantunkan lagu-lagu. Aku tidak mau lagi menuliskan berjuta aksara-aksara. Aku tidak mau hal-hal itu terulang dan terulang lagi. Tidak, aku tidak mau merasakan kebohongan itu lagi. Aku tidak mau merasakan siksaan itu lagi. Aku tak mau merasakan rasa itu lagi. Pernyataan itu memuakkan, segala diksi yang dipakai dalam merepresentasikan rasa itu menjijikan. Hanya sekedar untuk mengikat dalam ketidakpastian, hal-hal tak masuk logika dilakukan. Melupakan harga diri demi menghargai diri yang lain. Kata-kata itu penuh pengkhianatan, kerancuan. Mendatangkan penyesalan dan kutukan-kutukan ketika kehilangan ikatan itu. Jadi izinkan aku berhenti, dan jangan ingatkan aku lagi. Pergi, jangan mengulang-ulang kebu