Senandung Semesta

Suatu ketika aku pergi ke tempat yang beberapa kali pernah kudatangi. Tempat dimana bintang-bintang terlihat jatuhnya. Dimana zat-zat yang terobsesi sepi, akhirnya bersemi, saling menyemangati dan memaklumi. Dan api unggun yang dinyalakan disana begitu hangat, menemani malam yang dingin menyengat, serta secangkir minuman yang rasanya banyak ditolak orang, namun maknanya tidak, apalagi kalau bukan kopi.

Bicara tentang bintang, aku banyak berbincang dengannya. Ia penyabar, menungguku menghampiri , sekali waktu dalam beberapa bulan di pucuk-pucuk gunung. Aku bercerita padanya, tentang bagaimana kabar bumi sekarang. Walau ia tak pernah memberi gambaran, bagaimana kabar langit yang sekarang. Tapi katanya, langit bersedih melihat bumi. Karena penghuninya sudah tidak bersahabat lagi.

Bintang sering tertawa ketika bagaimana manusia mengucapkan harap saat ia berjatuhan. Karena katanya, sejatinya ia bukan pengabul harapan. Namun kalau hanya berbicara sebagai teman, ia mampukan. Asalkan mau menunggu dan mencarinya di tengah malam tanpa awan. Sama seperti sekarang, ia mendengarkan ceritaku tanpa pernah merelevankan, atas apa yang ia pikirkan.

Aku tak pernah lupa dengan Tuan Api, yang hangatnya terasa sampai sela-sela neuron otakku, waktu aku berdiskusi dengannya sampai larut. Bersitegang dengan pemikiranku yang bercarut, memaksa ada rehat sejenak atas rutinitas yang tak ada terasa batas. Sampai-sampai aku lupa, Tuan Api sudah menjadi Bara. Mataharipun datang segera menyapa, setelah para muadzin terdengar adzannya.

Tuan Api mengajariku banyak hal, bahwa semangat yang membara ada batasnya, sampai pada titik jenuhnya lalu ia menghitam layaknya abu. Dan seluruh benda-benda baik yang melayang maupun yang diam pun begitu. Lama-kelamaan ia lapuk. Termakan oleh dirinya sendiri.

Dan yang terakhir, kawan yang paling akrab denganku, yang menemaniku baik sehancur-hancurnya hari yang kujalani. Atau sebahagianya aku sampai pegal pipiku untuk tertawa. Ia selalu ada. Ya! Kopi!. Si Kawan yang mengajakku untuk menikmati dunia,  bersamanya, kefanaan terasa nyata dan sangat bercahaya.

Jujur saja, banyak orang-orang menolak rasa pahit dari Kawanku yang satu ini. Tapi kuyakin tak ada yang mampu mengingkari maknanya. Ia mengingatkan sepahit-pahitnya kopi yang kau hirup selalu ada kenikmatan dalam setiap hal yang kau selesaikan setelahnya. Bahwa sepahit-pahitnya hidup, kau harus tetap menikmatinya.

Nikmati hidup dengan merasakan sulitnya, begitu katanya. Dan ketiga temanku yang kuceritakan itu, selalu mengajakku bersenandung. Tiap malam sampai fajar datang dan mengingatkan ada rutinitas yang harus dijalankan. Mereka yang membuat semestaku seperti pesta pora.

Walau hanya secara filosofis semua itu menyenangkan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu