Sepotong Rindu


Semenjak kita berjarak dan lama tak saling bertatap. Aku penasaran, ada rasa yang sangat mencekam yang bersemayam. Entah di organku sebelah mana, terasa sangat berat seperti serasa ingin memberontak dan mengoyak. Belakangan ini, aku belum sanggup mendefinisikan. Namun lama kelamaan aku mengerti. Ini resikonya. Resikonya aku mengikatmu. Dan memang setelah kurasakan lebih dalam, rasa ini muncul semenjak kita berpisah, lain tempat, lain waktu.

Orang-orang menyebutnya rindu, tapi semua orang yang kuminta penjelasannya. Bagaimana bentuk rindu itu? Satu, sepuluh, seratus orang kutanya. Rindu versi mereka berbeda-beda. Rindu ini kejam, karena bagaimanapun kamu menggambarkannya ke orang lain. Rindu akan tetap subyektif. Dan akan selalu tergambarkan dengan bentuk yang egois.

Mengapa Tuhan menciptakan rindu? mungkin dahulu kala, Adam dan Hawa, dilemparkan ke Bumi dengan terpisah jutaan kilometer jauhnya. Tuhan memberikannya dua potong rindu sebagai jaminan mereka berdua akan dipersatukan. Hanya dengan modal dua potong itu, mereka saling mencari. Menembus hutan rimba, menyeberangi lautan. Rindu diciptakan agar manusia menghargai temu.

Dari cerita itu aku paham, rindu candu kepada temu. Hanya temu yang mampu memutihkan rindu yang hitam-legam. Dan hanya rindu yang menilai tinggi sucinya pertemuan. Jadi, izinkan aku merindu, ini bagian dari karunia Tuhan yang ingin sekali kusyukuri.

Aku yakin Tuhan menciptakan sepotong rindu padaku. Namun, aku tak tau apakah sepotong lainnya, ada pada dirimu?

Komentar

  1. Is your silence the best way to love someone?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut saya diam itu bahasa tertinggi atas kekaguman.

      Hapus
    2. Menurut saya diam itu bahasa tertinggi atas kekaguman.

      Hapus
    3. Lalu bagaimana jika ada seseorang di luar sana yang juga mengagumimu dalam diam?

      Hapus
    4. Tinggal kewenangan Tuhan untuk mengamini harapan keduanya agar saling dipertemukan.

      Hapus
    5. Apakah doa saja itu cukup untuk mempertemukan keduanya tanpa diikuti dengan ikhtiar?

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?