Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018

Senandung Intim Akhir Tahun

Desember, memori sepanjang tahun teraduk tercampur. Mengingat kembali hal-hal bodoh yang sudah terlanjur, 2018 sudah uzur. Semoga Januari dan kawan-kawannya berbaik hati, semoga warna-warna pelangi yang terdesaturasi dapat memenuhi memori. Tak apa pudar, yang penting benar. Hari minggu terakhir sebelum berganti masehi. Memang kuniatkan untuk bangun pagi, sekedar berlari kecil mengelilingi sepersekian permukaan bumi, meremajakan kaki, karena sudah lama dimaklumi. Lalu hujan turun, seperti lagu Efek Rumah Kaca, hujan Bulan Desember juga kesukaanku, entah seperti berbeda saja rasanya. Kamu tau yang kusuka dari suasana selepas hujan? Ya, mungkin sama. Aroma rumput dan pepohonan yang basah, kicauan burung yang kegirangan, angin sepoi yang menyejukkan dan keheningan. Keheningan yang seperti membuat ada jeda di antara waktu itu, mengungkit dan meleburkan kenangan, entah manis atau pahit, semuanya bercampur baur. Membuat kita hanya mesti memaklumi, memahami dan menjadikan pelajaran

Kata-kata tak cukup untukmu.

Kata-kata tak cukup untukmu. Begitu kataku. Kau tau, kalau kau tanyakan aku apa yang akan kuberikan padamu, aku akan berikan tiga Cinta. Semesta. Dan secarik kertas. Ketika kau tanyakan cinta yang apa dan seperti apa, akan kujawab. Cinta yang akan kuberi bukan seperti yang terpampang di media sosial, bukan yang diperdagangkan dilembar-lembar novel, bukan yang di kutip orang di kuotasi-kuotasi populer. Cintaku pun bukan kata-kata gombal yang sepah. Cintaku adalah 'kamu'. Dan cukup sampai disitu. Tanpa ada 'kamu', kata-kata cinta tak perlu. Apa artinya kata cinta tanpa kamu. Ya. Kupasrahkan saja maknanya didalam kamu. Akupun tak tau harus menggambarkannya dalam bentuk apa. Perhatian? Kasih sayang? tidak. tidak-tidak. itu tidak cukup. Akan kuberikan segalanya, sampai kata 'segalanya' pun tak cukup untuk kuberi. Karena dari nalarku. Kata 'kamu' lebih dari kata 'segalanya'. Ketika kau menanyakan bagian apa dari semesta yang kuberikan. Ak

Bias.

Sebagai orang yang tak pernah ingin berhenti mempertanyakan, kita pasti sering tersesat pada kebingungan. Di persimpangan jalan, memilih ke kiri atau ke kanan atau bahkan kembali ke belakang. Dan puncak kebingungan dicapai ketika..... kata-kata sudah tak lagi dapat menggambarkan dan menjadi bagian dari visualisasi akan maksud yang kita punya. Beberapa akan kujabarkan, Ada yang memetaforakan kalimat-kalimat indah sebagai tautan dari maksud tertentu, orang-orang labil biasanya suka mendengar atau membaca serangkaian tulisan yang mencerahkan mata dan memanjakan telinga. Tapi tidak sampai ke rasa dan logikanya. Manusia biasa yang indranya tumpul, mudah saja menggamblangkan sesuatu yang esensinya kompleks. Cinta. Siapa yang sejatinya tau akan maknanya? Bahkan penyair agung Kahlil Gibran pun mengaku amatir soal percintaan. Kuyakin kau tak tau dia, kau kurang baca, sama. Kata-kata tak cukup menggamblangkan essensinya, indra manusia dan budaya kata tak cukup sampai kedalam pemvi

Lebih baik tidak.

Pastinya, kita saling mengira-ngira. Entah kekaguman yang terpancar dari mata kita masing-masing itu benar adanya atau tidak. Setidaknya aku yang mengaku, aku mencuri waktu dari semesta untuk sekedar memandangmu. Aku tak tau kau juga iya apa bagaimana, tapi yang jelas, kita canggung. Entah kau memang menghindariku karena tak nyaman setelah kau baca tulisan-tulisanku. Atau entah alasan yang apalah. Kalau karena kekagumanku padamu, membuat frekuensi temu kita menjadi suatu yang tabu. Membuat jarak antaramu dan aku semakin tak terjangkau. Malah saling takut untuk memulai dan membuka obrolan baru. Membuat komunikasi dan hal-hal silang tidak menyaling. Lebih baik aku tidak kagum padamu. Lebih baik kita seperti dulu, basa-basi tanpa ragu. Lebih baik kita tak saling tau. Siapa tau. Kita tak seperti ini.

Kau bukan pembacaku.

Aku sediakan buku, namun ternyata kau lebih suka melukis. Salahnya, aku tak menyediakan kanvas karena aku tak tahu ternyata kesukaanmu itu. Saat aku sediakan payung, kau malah lebih suka basah, terjamah air hujan. Kalau aku suka berkesah, menurutmu itu seakan hal lumrah yang entah. Kupaparkan logika dan idealita, kau menolaknya mentah. Kubuatkan puisi, kau bilang itu terlalu metafora, katamu romantika jaman sekarang sudah tak sinkron dengan kata-kata indah, puisi sudah sepah. Kupersembahkan lagu, yah, kau mengharapkan yang merdu, kau menolak mendengar dulu, apa substansi laguku. Lalu cara apa lagi supaya aku dapat? sampai-sampai mencarimu saja aku tersesat, tak menemukan jalan yang tepat. Kata orang, wanita umumnya bertahan pada kodratnya , yang para lelaki harus paham kode dan isyaratnya. Apakah cara yang kupakai bukan kodratku? menunggunya memahami kode dan isyaratnya dengan caraku, bukan cara yang jitu? Apa harus menduduki diriku didepannya lalu melontarkan kalimat akuisisi

Suatu saat

Mungkin suatu saat, Kau menemukan lelaki familiar yang sepertinya pernah kau kenal, saat kau disudut kafe. Dan kau menyadari, lelaki itu selalu curi pandangan, memandangimu diam-diam. Dan kau bisa melihat kekaguman dan rasa penasaran dimatanya. Sampai akhirnya kau berhasil ingat, dia kenalanmu di suatu tempat dulu. Berusaha mengingat namanya, namun lupa. Kemudian lelaki itu berjalan kearahmu, kau pun berdebar. Dia menyapa terlebih dahulu, apakah kau dia, wanita yang ia kenal dulu. Dan kau membenarkan, dan terjadilah perkenalan ulang. Seperti skenario klasik, kalian berbincang satu meja, berlama-lama, melewati senja, hingga malam renta. Dan kau ingat, dia lelaki yang mengucapkan "Selamat wisuda" dengan lirih. Mungkin suatu saat, Kita akan bertemu saat kau sedang menempuh studi master di benua tertentu, aku sendiri, berkelana, dengan tas besarku. Lalu karena kita saling mengenal, kita saling menyapa dan entah apa alasannya kita berbincang tak tau waktu, melupakan