Kau bukan pembacaku.
Aku sediakan buku, namun ternyata kau lebih suka melukis. Salahnya, aku tak menyediakan kanvas karena aku tak tahu ternyata kesukaanmu itu. Saat aku sediakan payung, kau malah lebih suka basah, terjamah air hujan.
Kalau aku suka berkesah, menurutmu itu seakan hal lumrah yang entah. Kupaparkan logika dan idealita, kau menolaknya mentah. Kubuatkan puisi, kau bilang itu terlalu metafora, katamu romantika jaman sekarang sudah tak sinkron dengan kata-kata indah, puisi sudah sepah. Kupersembahkan lagu, yah, kau mengharapkan yang merdu, kau menolak mendengar dulu, apa substansi laguku.
Lalu cara apa lagi supaya aku dapat? sampai-sampai mencarimu saja aku tersesat, tak menemukan jalan yang tepat. Kata orang, wanita umumnya bertahan pada kodratnya , yang para lelaki harus paham kode dan isyaratnya. Apakah cara yang kupakai bukan kodratku? menunggunya memahami kode dan isyaratnya dengan caraku, bukan cara yang jitu? Apa harus menduduki diriku didepannya lalu melontarkan kalimat akuisisi itu?
Ternyata dari tulisan-tulisan muram dan letihku, kukira kau terselip, entah di antara spasi atau baris pemisah paragraf. kukira kau tersesat. Menungguku untuk menemukan. Namun ternyata kau entah dimana. dan ketika aku baca satu-persatu lembar bukuku. Aku tetap tak menemukanmu.
Kau bukan pembacaku.
Komentar
Posting Komentar