Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Diantara ruang dan waktu

Eksplorasi tepi-tepi dimensi, mencari partikel cahayamu yang meredup. Aku berencana menemukanmu, dalam spasi antara detik satu dan yang lainnya. Aku melihatmu, di kejauhan, namun bagai fatamorgana, kau selalu lenyap, fana. Entah, ada ruang yang meraung dalam diriku, ia kesakitan, terjangkit kesepian. Aku tak tega, sudah berapa lama ia begitu. Logika sudah berkali-kali menenangkannya bahkan menegurnya dengan keras agar tidak kerap merengek. Namun, pada akhirnya logika iba.  Maka dari itu rencanaku mememukanmu semakin kuat, karena sudah penting dan agak mendesak. Supaya ruang tersebut terisi dan berhenti meraung.  Aku mulai dari hulu semesta, mengarungi bintang-bintang dan sampailah di hilir. Dimana semesta terpecah belah, yang ada diseberang hanya ketiadaan, kekosongan. Bahkan mencarimu di galaksi-galaksi yang ada juga tak kunjung kudapatkan hasilnya.  Cahaya yang menuntunku sudah semakin meredup kehilangan dayanya, bahkan bayanganmu yang sempat termanifesasi di waktu-waktu y

Jangan seperti yang lain.

Cinta yang orisinil, custom-made dan organik. Aku mau nyaman yang tidak cari aman, aku mau hobi yang tak soroti, aku mau hidup dibalik cahaya redup. Aku mau cara lain yang tak seperti yang lain. Aku tak mau cara orientasi berperasaanku mengikuti trending topic, yang akibat pembebanan pergaulan, membuat perasaan bagai dilelang, diobral, dijual murah. Lagi-lagi karena sedang trending. Karena sepi sudah tak bisa dihadapi sendiri dan dinamika-dinamika ala drama yang dijual di pasar membuat hati melentur, mencacati hak dan kewajibannya. Aku tak mau menjalin hubungan yang sekedar terhubung tanpa ada komitmen konkret berkepanjangan. Tanpa ada saling pilah pilih pulih. Aku ingin lain, tak seperti yang lain.

Jangan sekedar jatuh cinta.

Aku tak mau kau, atau aku, sekedar jatuh cinta, dan sudah, begitu saja. Yang bisa datang dan menguap kapan saja. Aku tak mau jatuh cinta sekedar karena paras, sekedar karena nyaman, sekedar cari aman. Aku mau jatuh cinta dengan alasan, dengan pendirian, dengan berbagi impian. Aku mau jatuh cinta, ketika kita sama-sama bergetar saat berbicara, menangkap sinyal-sinyal pasti, lalu beresonansi! Aku mau jatuh cinta dengan sadar, dengan perasaan yang benar-benar berbinar. Aku ingin jatuh cinta dengan obrolan yang pas, mengena dan saling sambung. Aku ingin kita berbagi mimpi, berbagi memori, sama-sama bersedia untuk saling menopang ambisi, lalu mendunia, menjelajahi setiap pelosok negara-negara yang ada, bergandeng tangan, menggenggam cinta ke setiap inci dunia. Aku ingin jatuh cinta yang benar-benar jatuh ke dalam kata cinta yang nanti kita maknai berdua. Aku ingin jatuh cinta dengan diskusi, bersama menafsirkan kefanaan dimensi, mengabaikan waktu, membiarkan obrolan menggaung dala

Bintang untuk malamku.

Malamku gelap, kau tahu, setelah beberapa lama sok berani sendiri dan sok mencoba nyaman berada di sisi gelap. Akhirnya hati meronta, ia protes, menurutnya pemikiran terlalu idealis, terlalu ingin semuanya selaras, realistis. Harusnya perasaan yang egois, bukan pemikiran. Namun ternyata ego itu produk koalisi antara idealisme yang bukan pada tempatnya dan perasaan bangga akan pilihan. Terbentuklah egoisme yang bermanifestasi dalam bentuk sikap idealis. Dan aku terjangkit itu, menjijikan bukan? Hebat dalam merumuskan pola pikir dan pendirian, malah tak tau ternyata tersesat. Itulah kelemahan para idealis, tajam ke luar, tumpul ke dalam. Kritis saat dikritik, tapi buta pada personalitas diri. Sekarang gelap baru terasa dingin, hitam dan suram. Parahnya lagi, tak ada kehidupan lain di sini. Sisi gelap juga lama-lama membosankan. Apalagi ia terlalu realistis, tak ada warna dan harapan. Pantang membicarakan cinta-cintaan.  Dan setelah kupikirkan berulang-ulang, ternyata kesepian itu w

Si Sok Bijak

Desember 2018, aku pernah sedikit berselisih dengan orang tua, terutama ibuku. Terhitung dari Desember, aku mencoba part-time, sebagai creative director bagian marketing suatu perusahaan start-up dibidang marketplace. Dalam prosesnya, ceritanya panjang. Aku sempat dilarang oleh Ibuku, dengan dalih aku disini hanya untuk fokus kuliah, bila uang bulanan dari ayahku kurang, ibuku bersedia menambahkan, kalau ada keinginan yang ingin direalisasikan, ibuku bisa carikan. Namun, aku, si sok bijak ini, berpikiran, biaya yang ditanggung ayah dan ibuku sudah terlampau banyak, di umur setua itu harusnya mereka sudah bisa merelaksasikan badan dan anak-anaknya sudah bisa mandiri. Belum lagi adikku yang harus menuntaskan studinya di Eropa sana, berapa biayanya. Aku berpikiran untuk sekedar membantu mereka, berkontribusi sekian persen dari pengeluaran yang harus dikeluarkan setiap bulan, berkontribusi sekian sendok dari lauk-pauk yang tiap sore di hidangkan di meja makan. Lagi pula aku ana

Sepenggal kisah dari Jogjakarta

Izinkan aku berkeluh dan berkesah. Hari ini pagi sedang sedih, tangisnya mengembun di kacaku. Ia juga melampiaskannya kepada daun-daun yang turut kebasahan. Matahari pagi pun malu-malu untuk terbit, mungkin ia merasa tak enak dengan pagi yang sedang muram, maka dari itu sinarnya terbit pelan-pelan, tak begitu terang, tak begitu terasa menghangatkan. Hari ini juga aku berpikiran untuk membawa tulisanku ke level selanjutnya, yang lebih serius dan yang lebih 'menghasilkan'. Tapi aku takut kehilangan esensi menulisku, aku takut nanti aku hanya menulis untuk popularitas, untuk menghasilkan, bukan panggilan jiwa, bukan curahan hati, bukan meresahkan suatu hal dari intelektual. Yasudah kubiarkan saja jemariku begitu, dengan harapan untuk menulis dengan hati, dengan keresahan akan bengkoknya realitas yang begitu bias.  Jogjakarta dan 2019. Sudah cukup lama aku menumpang disini. Memupuk asa dan cita. Bertemu mereka yang seragam visi, merasa sekeluarga dan bersaudara. Kis

Menemukan Hati

2019. Tahun titik balik. Semua akan berakhir dan dimulai di tahun ini. Aku pernah merasa menemukanmu. Bahwa dari ratusan percobaan dan jutaan kemungkinan, aku pernah merasa bahwa kamu adalah yang satu. Tempat semua kata-kataku tertuju, terakumulasi dan tersimpan dengan hangat. Aku pernah merasa bahwa kamulah cahaya semburat merah terakhir, yang padam ketika senja hendak pamit. Ternyata kamu hanya kata-kata tanpa makna yang ada diantara perasaan dan pemikiran. Dan kamu hanya sepoi angin yang berlalu dengan dingin. Tidak sampai ke situ ternyata, kita sama-sama terjebak dengan diri kita sendiri, dengan kebanggaan dan narsisme kita sendiri, dan sangat jatuh cinta kepada diri kita sendiri. Dan percobaan-percobaan itu, cuma sekedar nominal, pemenuh kuantitas tanpa kualitas. Hampa sekali bukan? Namun setidaknya aku belajar, bahwa 'menemukan' tidak selalu linier dengan 'mencari'. Menemukan lebih kepada meyakinkan diri sendiri akan pilihan-pilihan yang ada. dan yang