Sepenggal kisah dari Jogjakarta


Izinkan aku berkeluh dan berkesah.

Hari ini pagi sedang sedih, tangisnya mengembun di kacaku. Ia juga melampiaskannya kepada daun-daun yang turut kebasahan. Matahari pagi pun malu-malu untuk terbit, mungkin ia merasa tak enak dengan pagi yang sedang muram, maka dari itu sinarnya terbit pelan-pelan, tak begitu terang, tak begitu terasa menghangatkan.

Hari ini juga aku berpikiran untuk membawa tulisanku ke level selanjutnya, yang lebih serius dan yang lebih 'menghasilkan'. Tapi aku takut kehilangan esensi menulisku, aku takut nanti aku hanya menulis untuk popularitas, untuk menghasilkan, bukan panggilan jiwa, bukan curahan hati, bukan meresahkan suatu hal dari intelektual. Yasudah kubiarkan saja jemariku begitu, dengan harapan untuk menulis dengan hati, dengan keresahan akan bengkoknya realitas yang begitu bias. 

Jogjakarta dan 2019.

Sudah cukup lama aku menumpang disini. Memupuk asa dan cita. Bertemu mereka yang seragam visi, merasa sekeluarga dan bersaudara. Kisahku cukup menarik, walau aku tau, kisah mereka tak mau kalah berkesan dengan ceritaku. Tapi beginilah ceritaku, apa adanya, tanpa ingin di akui apalagi di apresiasi. Dan kuyakin setiap remaja yang beranjak dewasa di Jogja, yang sedang mencari jati dirinya, merasa bangga, dengan pilihan-pilihannya, dengan pembenaran akan jalan pikirnya. Semuanya punya idealisme masing-masing, malang bagi mereka yang hanya terombang-ambing.

Tapi setidaknya, Jogja tidak hanya menyediakan tempat singgah, Jogja ingin juga dianggap sebagai rumah. Bagi mereka yang punya kesan di Jogja, pasti paham, belaian remang lampu jalan, cerianya angkringan dan ramainya suasana jalan, membuat siapapun, ingin kembali lagi kesini. Seperti kata pemangku daerah sini, 'Paris ya Paris, London ya London, Jogja ya Jogja'. Ia punya daya tarik magis untuk perasaan-perasaan yang bimbang, untuk logika-logika yang sedang mencari jawaban.

Suasana Jogja cukup pekat untuk tersesat dalam kedamaian, Jogja selalu mampu bercerita lewat lampu kotanya, lewat kopi dan angkringannya, lewat canda tawa setiap orang, yang beromansa di bangku-bangku taman yang tersedia. Bahkan perantau-perantau itu sudah tak menganggap diri mereka perantau lagi, kuyakin mereka sudah menganggap Jogja sebagai rumah sendiri, karena Jogja sudah mengasuh mereka bak pribumi, bak anak sendiri.

Kalau Jakarta terbuat dari ambisi, pencapaian dan kompetisi. Maka Jogja terbuat dari pulang, rindu dan kasih sayang. Mungkin Bumi Jogja lahir ketika Tuhan sedang menyeduh kopi di pagi hari. Makanya Jogja begitu khas, harum dan memiliki perasaannya sendiri. Entah kenapa, lagu-lagu yang diputar di sini pun begitu mengena di hati, begitu terefleksi, membawa kita larut dan hanyut dalam setiap bait dan irama yang ada.

Ah, benar, Jogja ya Jogja.

Memindahkan barang dari kontrakan, menyusun rapi untuk di packing pulang ke kampung halaman, itu mudah. Yang sulit melupakan kenangannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu