Bintang untuk malamku.


Malamku gelap, kau tahu, setelah beberapa lama sok berani sendiri dan sok mencoba nyaman berada di sisi gelap. Akhirnya hati meronta, ia protes, menurutnya pemikiran terlalu idealis, terlalu ingin semuanya selaras, realistis. Harusnya perasaan yang egois, bukan pemikiran. Namun ternyata ego itu produk koalisi antara idealisme yang bukan pada tempatnya dan perasaan bangga akan pilihan. Terbentuklah egoisme yang bermanifestasi dalam bentuk sikap idealis. Dan aku terjangkit itu, menjijikan bukan? Hebat dalam merumuskan pola pikir dan pendirian, malah tak tau ternyata tersesat. Itulah kelemahan para idealis, tajam ke luar, tumpul ke dalam. Kritis saat dikritik, tapi buta pada personalitas diri.

Sekarang gelap baru terasa dingin, hitam dan suram. Parahnya lagi, tak ada kehidupan lain di sini. Sisi gelap juga lama-lama membosankan. Apalagi ia terlalu realistis, tak ada warna dan harapan. Pantang membicarakan cinta-cintaan.  Dan setelah kupikirkan berulang-ulang, ternyata kesepian itu wajar. Ia memang perasaan yang diciptakan, dan memang bentuk perasaan yang diciptakan untuk dirasakan. 

Malam sekarang suka protes, kapan ia dapat teman. Kapan ada suara dibalik dering telefon untuk sekedar meredam sunyi yang menusuk-nusuk? Dulu kupikir aku dapat menaklukkan keheningan macam ini, namun lama-lama kekuatan perasaan itu terdistorsi. Sepi memang sangat tajam ternyata. Kuyakin sekeras apapun manusia, sepi tetap dapat membuat idealisme mampus, dikoyak-koyak sepi. 

Malam juga suka merasakan rindu, entah kepada apa atau siapa. Rindu kepada sesuatu yang belum tentu ada itu membingungkan. Tapi ada! Perasaan rindu pada sesuatu yang tak tentu itu ada! Aku pernah mengalaminya. Mungkin hati tersusun atas kompartemen yang kompleks, berlapis-lapis. Memahami diri sendiri sepertinya harus ada studi tertentu.

Lalu aku teringat dirimu, yang dulu pernah kurencanakan untuk jadi bintang bagi malamku. Untuk jadi teman sepah sepiku. Tak apa, terserahmu. Berpegangan tangan sampai pagi tanpa konversasi, duduk-duduk di depan televisi, mendengar lagu-lagu indie, menertawakan waktu dan bercerita tentang hal-hal manis. Semua akan terasa magis, waktu akan cemburu sinis ketika kita menelantarkannya. Namun realita terlampau sadis, semua cerita-cerita yang aku khayalkan, kau lakukan dengan yang lain. haha.

Namun tak apa, realita seperti itu yang menguatkanku. Walau tak bisa aku pungkiri, realita seperti itu yang merubah sudut pandangku, merubah kepekaan perasaanku dan penalaran logikaku tentang drama-drama tak realistis itu. Tak realistis yang sebenarnya aku damba-dambakan. Tak realistis yang mengiris. Akupun masih tak bisa bohong, senyummu seingatku memang yang paling manis satu semesta, ah tapi, semesta yang hendak kita bangun berbeda. Kau dengannya, sedangkan aku dengan sosok fiktif yang belum berbentuk.

Jadi, kubiarkan saja malam ini gelap. Langit-langit masih belum ada yang mau mengisi, kalau malamku ingin bintang lagi, pasti aku selalu mengingatmu, dan ya, pahit memang. Namun apa daya, begitulah resiko jatuh cinta dan resiko di cintai. Maaf kalau risih, bersenang-senanglah, seperti biasa, aku hanya bisa berkata-kata, kalau kau menuntut aksi nyata, nanti saja.

Kabari aku, atau nanti aku yang mencari tahu. Tentangmu yang sudah jadi bintang, bagi malam orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu