Si Sok Bijak


Desember 2018, aku pernah sedikit berselisih dengan orang tua, terutama ibuku.

Terhitung dari Desember, aku mencoba part-time, sebagai creative director bagian marketing suatu perusahaan start-up dibidang marketplace. Dalam prosesnya, ceritanya panjang. Aku sempat dilarang oleh Ibuku, dengan dalih aku disini hanya untuk fokus kuliah, bila uang bulanan dari ayahku kurang, ibuku bersedia menambahkan, kalau ada keinginan yang ingin direalisasikan, ibuku bisa carikan.

Namun, aku, si sok bijak ini, berpikiran, biaya yang ditanggung ayah dan ibuku sudah terlampau banyak, di umur setua itu harusnya mereka sudah bisa merelaksasikan badan dan anak-anaknya sudah bisa mandiri. Belum lagi adikku yang harus menuntaskan studinya di Eropa sana, berapa biayanya. Aku berpikiran untuk sekedar membantu mereka, berkontribusi sekian persen dari pengeluaran yang harus dikeluarkan setiap bulan, berkontribusi sekian sendok dari lauk-pauk yang tiap sore di hidangkan di meja makan.

Lagi pula aku anak laki-laki, pertama, yang suatu saat apabila nama besar keluargaku sudah ditinggal ayahku, akulah yang bertanggung jawab atas seluruh keberlangsungan hidup Ibu dan adikku. Begitulah aku, si sok bijak yang masih terlalu lemah, baik mental maupun pendirian. Wajar saja Ibuku belum menganggap aku siap dengan realita yang harus dihadapi, tentang kerja dan tentang tanggung jawab.

Berusaha menengahi konflik, ayahku datang dengan pesan menohok, omongan pelan namun tajam. ' Kegagalan bagi orang tua yang membuat anaknya harus menghidupi keluarga sebelum waktunya, wajar saja Ibumu melarang'. Sial! kataku. Idealisme dan kemampuan berdebatku sudah tak sanggup lagi kupertontonkan di depan mereka. Mereka melarangku part-time, karena tak ingin gagal jadi orang tua! Dan ini tamparan untukku juga, bahwa esok, keluargaku harus kuperjuangkan dengan darah.

Ayahku hanya berbijaksana, dan memerankan perannya sebagai penengah dan pemimpin keluarga. Ia pun paham pada pilihanku yang sudah ingin menopang diri sendiri dan berhenti bersandar kepada orang tua. Dan pada akhirnya, aku diijinkan, dengan prasyarat kuliah dan kesehatanku jangan sampai terbengkalai, jangan memaksakan diri.

Si Sok Bijak ini, berusaha dewasa dengan idealismenya, berlagak membantu pemasukan keluarga padahal aku sendiri tak paham dan masih awam dalam mencari nafkah dan menafkahi. Sementara ini yang penting aku bisa menanggung biaya pengeluaran diri sendiri. Padahal peran itu gila, percayalah cari uang itu sulit, sakit! Wajar orang tua tak ingin kita menderita, kita belum kuat, biar mereka saja, pasti itu pikir mereka.

Sial! Orang tua kita terlalu hebat untuk sekedar ditiru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu