Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Yang Berhak Dipertuankan

Tuan, untuk inikah Kau ciptakan perbedaan? Manusia-manusia sekarang saling membunuh, Tuan. Mereka membunuh atas namaMu. Yang benar dan yang salah sekarang hanya Kau yang tau. Mereka saling mencaci maki selagi mereka sama-sama menyembahMu. Tuan, HambaMu sekarang tak mau lagi mengenal saudaranya. HambaMu tak mau lagi menghargai pikiran yang Kau ciptakan berbeda-beda itu. Tuan, apakah aku benar-benar bersaksi atas namaMu? Aku tak pernah berjumpa denganMu. Indraku tak pernah sanggup merasakanMu. Tapi Tuan, hati ini memilih yakin kepadaMu. Ataukah hati ini terpaksa begitu? Apakah benar hidup dan matiku hanya untukMu? Lalu kau beri nilai kepadaku, yang masih entah layak atau tidak itu. Apakah aku benar-benar dapat diterima menjadi hambaMu, Tuan? Tuan, apakah usahaku untuk mengesankanMu tak pernah cukup? Kata orang sholatku hanya kelas orang awam, Puasaku hanya menahan lapar dan haus, Sedekahku masih menyayangkan hartaku, Dzikirku masih memiliki keinginan dibaliknya dan Kebaikanku

Tak Berkriteria

Aku telah jauh mengenalmu, mungkin lebih jauh daripada mengenal jati diriku. dan aku sudah terpana dengan apa yang kau pancarkan dari keteduhanmu berbicara padaku. Dan tak perlu muluk-muluk, jangan jadikan dirimu impresif. Cukup dengan senyummu yang biasa. Aku sudah betah memandanginya. Tak perlu kau pergi jauh hanya untuk sekedar membeli tas jinjing mahal itu, meskipun terlihat sedikit lebih modis dari biasanya. Namun kau sudah cukup dengan apa adanya. Juga tak perlu bibirmu bergincu, pemberian Tuhan itu sudah cukup mengkilat saat aku memandanginya. Kau juga tak perlu memakai pakaian yang begitu repot, hanya untuk menunjukkan kemampuanmu dalam berdandan. Memakai sesedikit mungkin asal diperlukan cukup untukku. Dan tentunya aku masih tergila-gila dengan kesederhanaanmu yang begitu manis dimataku. Kau tahu, mahkotamu bagiku hanya senyummu. Itu hal yang memperindah setiap sudut wajahmu, itu yang menunjukkan warna-warnamu, itu yang menunjukkan pesonamu. Dan gaunmu bagiku ha

Ruang Imajinasi

Anggap saja aku bumi, sedang berotasi mengitarimu. Beberapa Millenium telah kuyakinkan bumi, bahwa kau yang kujadikan matahari. Percaya saja, aku akan aman bila berotasi di orbitmu. Beberapa lama ini aku nyaman denganmu, berdansa dalam orbit yang padu. Namun, semakin kesini. Kau semakin terasa sangat panas, membakarku. Semakin aku menggapaimu, semakin terbakar aku. Lalu kuputuskan untuk keluar dari orbitmu, dan mencari matahari baru. Lagi-lagi tak semudah itu, pergi dari pusat gravitasi berarti menghancurkanku. Dan bagaimanapun aku harus keluar dari situ, walaupun harus membentuk diriku yang baru. Akhirnya ada yang kudapat mengapa kau memanas begitu, rupanya kau sudah dapat bumi yang baru. Yang lebih kau pancarkan hangat, dan yakin terasa beda dengan hangat yang kau dulu beri padaku. Ini seperti waktu itu, waktu awal-awal terbentuknya waktu. Waktu dimana kita tempati seluruh ruang semesta, seakan semuanya milik kita. Rupanya imajinasi dalam imajinasiku berkata, tidak ada

Harap

Tulisan-tulisanku dan aksara-aksara yang kau baca mungkin terasa lucu di waktu yang akan datang. Tentang celotehan-ku atas tak adilnya penciptaan ruang dan waktu. Tentang mengapa terjadi perpisahan dan jarak yang tak tentu. Dan tentang mengapa Tuhan menciptakan rindu? Oh mungkin supaya aku menghargai hadirmu, pantas mencarimu dan suatu saat menyesali kehilanganmu. Lucunya aku merindu kepada seorang perempuan yang entah siapa namanya, entah dimana keberadaannya. Perasaanku terus mencaci-maki kekosongan dan menuntut segera direalisasikan untuk bertemu. Namun, akalku kehabisan akalnya. Kemana harus mencari dan siapa harus ditanya. Sekarang hanya imajiku yang bisa bermain liar, membayangkan suatu saat diriku yang antah berantah tak terurus. Akan menjalin sebuah komitmen seumur hidup dan membagi ke-egois-an-ku pada seorang wanita yang tak sekalipun pernah bertamu. Lalu kau akan mengurusku dan mengajariku kearifan-kearifan dunia yang kau tau. Awalnya kita akan jauh saling mengerti,

Menyelamatkan Moral

20/04/2017. Seorang ibu berkeringat darah dengan kaki penuh bekas padatan semen berpulang kepelukan Tuhan. Rupanya beliau hidup dibawah tirani, dibawah kepenguasaan zalim suatu penguasa. R.A. Kartini masa kini. Beliau memperjuangkan kampung halamannya yang dijajah oleh penguasa, yang dahulu waktu pilkada Ia pilih si penguasa itu di TPS dekat rumahnya. Namun apa daya, karena ketamakan sang pemilik perusahaan semen yang gemuk itu. Budaya dan kearifan lokalnya akan digaruk bersama bukit-bukit karst yang akan digunakan sebagai bahan baku semen itu. Sebelum aksi beliau sempat protes, ke pemerintah pusat, namun dilempar sana-sini. Muncullah seberkas cahaya harapan ketika tuntutan mereka diterima MK beberapa waktu setelahnya, namun belakangan, tuntutan itu dicabut kembali. Dan gubernur jawa tengah itu masih saja ingin melanjutkan penggarukan karst di wilayah Rembang. Dengan dalih dapat menjadi potensi pemasok semen terbesar di Indonesia. Masyarakat itu tak pernah disosialisasikan baga

Kagum

Suatu malam aku melihatmu, dengan senyum yang biasa. Kau menatap kearah Bulan, kudengarkan kamu berbincang-bincang dengannya dan juga sesekali bercanda dengan bintang-bintang. Dengan tatapan teduh, yang kemarin-kemarin sangat kuinginkan tatapan itu. Tak terasa aku tersenyum dengan sendirinya, tertawa kecil. Heran, sesering itu aku melihat lekuk senyummu, tetap saja tak pernah jemu aku melihatnya. Entah mengapa kesederhanaanmu itu terlihat mewah dimataku, begitu mempesona. Namun, tetap. Sayangnya tertawa kecil tadi seakan menertawakan diriku sendiri, dan muncul sugesti 'Masa iya? Aku? Dengannya?" lalu tertawa lagi, kini dengan nada yang lebih tinggi, sampai memekik. Tuan Putri tak pantas untuk kuli bangunan. Kalaupun iya, hanya karangan sutradara rendahan saja adanya. Dihari yang lain aku melihatmu lagi, ditepi pantai menatap senja. Pada saat merah-merahnya, sampai senja memantulkan warnanya disudut-sudut pipimu. Bersahaja, penuh keindahan yang tak bisa kuilustrasikan

Positifkan Diri

Aku tahu , kawan. Hari-harimu sulit untuk dilalui. Begitu banyak rintangan, permasalahan, urusan dan berbagai hal yang jadi bahan pikiran. Aku paling mengerti dirimu, teman. Berbagai kritik yang panas dan terdengar begitu pedas, jangan biarkan dirimu terbatas. Tetap jadi individu yang kapanpun waktunya siap terbang bebas. Jangan kau sesali apa yang kau lakukan, walaupun sudah mati-matian kau perjuangkan. Jangan sampai patah semangat di tengah jalan. Walau ku tahu kau jatuh berkali-kali, diremehkan berkali-kali, dihina berkali-kali. Ku yakin kakimu lebih sanggup berdiri dari pada yang lain, dan hatimu lebih tangguh dari pada yang lain. Kawan, kau sudah dipukuli oleh berbagai macam permasalahan. Dan kini kau sedang berjalan menuju pesimpangan , nanti kau harus pilih sendiri jalan mana yang kau jadikan tujuan. Jangan pernah kembali, dari apa yang sudah kau jalani. Berhenti sejenak tak apa! Istirahatlah, cari kejernihan dan kesejukkan. Lalu lanjutkan. Buatlah bagi dirimu, kaul