Spasi.

Sedang masuki fase spasi, membutuhkan ruang diantara torehan kata yang terpaksa kutulis dengan tinta bernama kehidupan. Paragraf kehidupan kutulis terlalu cepat, jiwaku terdesak-desak kalimat yang tertulis acak. Lalu momen yang datang kebetulan tepat, kuputuskan berhenti sejenak, sebelum kalimat yang akan kutulis selanjutnya, kusematkan spasi.

Aku yakin, beberapa individu menyadari anehnya kehidupan. Mempertanyakan tujuan apa yang benar-benar nyata untuk dikejar. Uang, pasangan, mapan atau masuk ke surgaNya? apa yang benar-benar nyata dan tidak, semu sangat bias pemaknaannya. Lalu spasi kupilih, sebagai tanda akan persiapan untuk kalimat selanjutnya.

Uang : secara subyektif aku mulai khawatir dengan stabilitas finansial, ketika nanti ayahku almarhum yang kapanpun bisa terjadi, aku akan jadi tulang punggung keluarga, akulah yang harus menanggung nama baik keluarga dan jadi penentu akan selamat atau tidaknya keluarga yang di bangun susah payah oleh ayahku. Ibuku mulai tua, tak bisa terus menerus berwirausaha. Adikku sedang mengemban beban berkuliah jauh di Eropa, butuh kiriman sangat banyak sampai selesai masa studinya. Lalu bagaimana ketika hal yang paling tidak di inginkan kejadian? Tak mungkin kupaksa ibuku memenuhi kebutuhan sehari-hari, tak mungkin kubiarkan adikku putus kuliahnya. Aku yang akan sepenuhnya bertanggung jawab, dengan jaminan keringat bahkan organ-organku ketika mereka harus di gadaikan.

Pasangan : sejujurnya pada fase ini aku tak pernah mengkhawatirkan akan pasangan, aku belum menemukan titik urgensinya, kalau boleh bilang aku masih bisa menahan kebutuhan biologis yang satu itu. Sementara yang lain punya argumentasi dan nasihat bahwa aku harus begini begitu, aku tak menemukan sisi logisnya, tentang seberapa penting perihal pasangan di fase terombang-ambing seperti ini? Aku hanya malu, tak bisa mempersembahkan apapun, tak bisa bertanggung jawab akan apapun, tak bisa menafkahi dari sisi manapun, tak bisa memberi perhatian karena banyak yang harus lebih di permasalahkan dan di prioritaskan. Aku punya harga diri yang setinggi itu, setidaknya itu yang ayah ajarkan kepadaku.

Mapan : walaupun kata ini menghantuiku terkait pemaknaannya, setidaknya kata ini terpatri dalam  daftar capaian-capaian yang harus kukejar walau mandi keringat bersimbah darah pun. Mapan secara material, finansial, emosional dan intelektual. Walaupun secara gamblang aku tak bisa mengkata-katakannya setidaknya aku akan lebih siap untuk bertanggung jawab dalam mengemban nama keluarga dan kepada pasanganku nanti. 

Masuk ke surgaNya : dalam hal ini aku masih mencari jalan-Nya, aku ingin keyakinanku datang akibat terjawabnya keraguanku, aku ingin benar-benar merasakan bahwa inilah jalanku yang hakiki, jalanku yang satu. Aku tak ingin tunduk hanya karena doktrin, aku ingin yakin di titik puncak keikhlasan, di titik puncak penghambaan.

Spasi kusematkan, sambil merenung, sambil membaca buku, sambil mencari jawaban-jawaban, sambil mecatat pertanyaan-pertanyaan. Lalu nanti, kubiarkan kehidupan menulis lagi.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu