Sisi gelap.

Menjelang malam minggu.

Make friends with your dark side.

Beriringan dengan waktu, masalah-masalah datang terakumulasi, mengendap dan membentuk kerak. Semakin aku mengenal manusia, semakin ingin aku keluar dari komunitas yang memaksa aku masuk di dalamnya. Itu mengapa aku lebih suka berbincang dengan angin, lebih manusiawi dari pada manusia itu sendiri. Sampai akhirnya aku lelah mencari kesepahaman dengan orang lain, pikiranku menolak keterbukaannya. Aku membiarkan pikiranku menutup dan mempersetankan orang lain. Memprogram supaya ia bisa adaptif dan terlihat mayoritas di depan orang lain.

Perihal cinta tak ada perkembangan yang aku harap-harapkan. Entah prinsip dan pendirianku yang terlalu kuat atau lemah.  Janji-janji masa kecilku pun setelah kutelisik semakin tak realistis, wajar saja kedewasaan dan proyeksi masa depan masih kukesampingkan kala itu. Semoga yang terlibat di dalamnya tak terikat apa-apa dan menyadari itu adalah kenaifan yang luar biasa.  Sementara 'dia' yang aku gembar-gemborkan tak juga kunjung mendekat, malah cenderung menjauh atau malah sudah hilang. Ah, persetan.

Kalau kehampaan bisa diukur, mungkin aku peringkat satu di dunia. Namun entah mengapa, hampa ternyata mendamaikan dan memicu kehangatan yang datang dari dalam. Perasaan dan pemikiran terkoordinasi dengan baik menghasilkan keoptimisan. Kekosongan membuatku berada di titik maksimalku. Dan yang paling kusuka dari kekosongan ini adalah kebebasan yang secara implisit terkandung di dalamnya. Aku bebas terbang ke mana saja, aku burung yang tak tersangkar.

Lalu aku bertemu sesuatu di pikiran gelapku yang paling dalam, ia adalah sisi gelapku. Ia memang kasar namun realistis. Aku selaras dengannya, bagiku ia tidak naif, tidak munafik. Kami mendiskusikan banyak hal, saling mendebat. Ia menyukai kesendirian, dan menempatkan diri di pojok ruangan di sisi yang gelap. Ia menertawakan realitas yang tidak realistis. Dengan tawa paling memekik yang pernah kudengar.

Orang-orang makin egois, katanya. Dan aku juga boleh begitu. Urusan orang lain akan tetap menjadi urusan mereka. Curahan hatiku yang sudah terlanjur tercurah itu hanya membuat rasa penasaran mereka hilang, bukan untuk memperdulikanku senyatanya. dan itu kenyataan yang mayoritas orang yang punya hubungan sosial baik dengan temannya, menolak untuk sadar. Urusanmu akan tetap menjadi urusanmu. Percayalah. Karena itu aku menutup diri dikeramaian, bertingkah seolah jiwa ragaku nyaman ditengahnya. Lalu sebisa mungkin memisahkan diri kalau ada waktu yang tak tenggat, pergi menjauh.

Suara desir ombak atau gesekan daun pepohonan jauh lebih jujur dari pada perkataan mereka yang sok peduli. Angin dan embun pegunungan yang dingin malah lebih menghangatkan dari pada sikap hangat rekaan mereka yang ada maunya. Dan sisi gelapku, yang benar-benar mempengaruhiku dengan kejam lebih setia di kondisi senang atau susahku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu