Lelah.

Berpura-pura memang melelahkan. Mengingkari perasaan yang diciptakan dan diperuntukkan sebagai penggambaran akan sesuatu malah menyakitkan. Seperti, Ada rasa kagum yang harus kubungkam dan ada rindu yang kupaksa diam. Ada ketidakrelaan yang selalu kututup pemakluman. Ada kau, namun aku tidak punya keberanian.

huh.

Lalu diwaktu yang selarut ini, mungkin kau sedang terlelap. Kalaupun tidak mungkin kau sedang membaca tulisan-tulisanku yang kau harap itu tentang kamu. Namun, percayalah tulisan ini hanya untukmu seorang dan tak pernah ada yang lain. Aku selalu membayangkanmu, ingin sekali melihat reaksimu membaca tulisan-tulisanku. Berharap suatu saat setelah kita bersama, kau meminta pertanggung jawaban atas semua diksi dan fiksi yang kubuat untukmu namun tak pernah kusampaikan. Kuyakin kau akan menanyakan pemaknaan akan segala sesuatu yang kutorehkan diatas tuts keyboard. Tentang hiperbolaku yang sampai begitu, tentang kamu.

Percayalah bukan hanya kamu yang cemas, ada aku, yang sama-sama menangisi waktu seraya ia makin menipis habis. Meratapi rindu yang tak tau tujuan dan berharap akan balasan walau kita pun ragu, apa rindu ini sampai kepada pemiliknya atau hanya sekedar dering salah sambung atau bahkan tak pernah diangkat. Hati semakin mengkerdil membatu, karena ia tak pernah dapat yang dimau, tak pernah ada kamu. 

Jadi sampai kapan? aku lelah dengan sandiwara, walau peran utama sebenarnya aku yang menentukan. Namun aku tak sekolah acting, aku tak pernah belajar dan dilatih percaya diri, ada sisi diriku yang tak mau diekspos, menolak cahaya panggung, ia lebih nyaman diruang sepi, sunyi, gelap dan temaram. Dan bagian itu juga aku, yang minta dimaklumi, ia hanya berharap ada seseorang yang membawakan cahaya, masuk ke sisi gelap itu dan menggenggamnya pergi keluar.

Entah cahayaku itu kamu atau bukan, namun sekarang setidaknya cahaya itu kamu. Bukan. Kau bukan hanya sekedar cahaya. Kau semestaku yang penuh dengan gemerlap cahaya bintang. Kau terlalu terang, dan aku belum sanggup memeluk cahayamu. Aku masih disini, menunggumu menjemputku yang terlalu takut. Tolong datangi aku, genggam dengan hangat jemari tanganmu. Bawa aku mengarungi angkasamu yang tak terhingga itu.

Ah namun metaforaku terlalu bias. Lelahku merembet hingga ke lapisan paling imajinatif. Aku hanya berharap aku tak lelah dalam mengagumi dan merasakan.

Cahayamu menjauh, dan seiring menjauhnya, ia meredup, tak berpendar, kehilangan binar. 

Sial. Aku lelah mengejarmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu