Ego.

Puan pura-pura tak rindu, puan pura-pura menyesal pernah jatuh, bergelut dengan kata-kata mutiara karangan orang sebagai tameng akan rapuh dan kacau susunan perasaannya. Puan berusaha berhenti, mulai membohongi dirinya sendiri. Bahwa ada yang lebih penting dari orientasi perasaan, ada masa depan yang lebih penting untuk disiapkan. Puan secara tak langsung memaksa dirinya untuk berhenti berimajinasi tentang rasa hangat jemari Tuan yang ia harap-harap terletak lekat dijemarinya. Puan pura-pura tenang, sebagai gantinya ia pilih jalan memutar agar tak berhadapan dengan Tuan, dipersimpangan jalan. Melihat Tuan dari refleksi kaca, dari kejauhan, menahan kesepian.

Tuan pura-pura tak peduli, walau kagumnya tercekik dan terasa tertusuk-tusuk. Tuan hanya melampiaskan, pada komputer, pada tulisan, pada tembakau, pada gelas-gelas kopi dan anggur. Tuan juga pergi dalam perjalanan-perjalanan. Menunggang besi yang berisik, berseteru dengan debu jalan. Tuan hanya memindahkan energinya pada perjalanan jauh, tas yang berat dan mengurasnya pada panas matahari yang terik. Tuan hanya mempuisikan, melagukan dan membuat tulisan, tentang kesepian.

Pada saat yang sama Ego tertawa terbahak-bahak merayakan kemenangan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu