Di Ujung Galaksi
Kau tau kan galaksi itu, tempat bertemunya semesta-semesta, yang mungkin, semestaku dan semestamu berbeda, ketika kau melihat daratan lautan serta langit sebagai atap, yang kulihat hanyalah sebuah gradasi, sebuah gabungan dari berjuta substansi dalam keindahan yang terintegrasi, mudah saja jika kuberi analogi, anggap saja aku sendok dan kau cangkir, dua substansi yang saling mengaduk menjadi satu dan jadilah keindahan bernama kopi. Itulah semestaku.
Samudraku dengan samudramu mungkin berbeda, ketika yang kaulihat hanya air semata, yang kulihat bintang-bintang dengan variasi warna, dan diantara bintang yang berjuta-juta, yang paling kusuka hanya satu warna, itu disana, yang merah merona, tak apa kan bila kunamakan samudraku samudra bintang, dan yang harus kau tau, aku juga biasa mengarunginya saat ragu, mencari secercah ide-ide baru, juga ketika sedang ada rindu, tentang momen di hari yang lalu
.
Hujanku dan hujanmu juga mungkin berbeda, ketika yang kaulihat ribuan partikel air yang jatuh dari langit, bagiku hujan adalah ketika sebutir air, diujung daun, yang menunggu jatuh sambil berayun, sementara dibawah, tanah sudah sangat kering. Kemudian Tuhan bermukjizat, jatuhlah air itu, bagiku tak perlu begitu besar, sementara yang kecil saja sudah di tunggu-tunggu, karena zaman sekarang sudah terlalu instan, hingga terdistorsi makna hujan.
Senjaku dan senjamu juga mungkin berbeda, mungkin yang kausuka hanya dari dalam jendela, kalau aku paling suka senja diujung barat sana, yang paling merah ketika mau habis jam lima, sesampai kutau namanya, seringkali juga aku bercerita, berbincang berjam-jam lamanya, tentang hal-hal yang tak kusuka, euforia contohnya. Dan kebetulannya, Sang Senja juga sama, sehabis itu tak jarang kami tertawa, tentang beberapa manusia yang sudah terlena, karena terlarut dalam gemerlapnya dunia kita yang fana.
Langitku dan langitmu juga bisa jadi berbeda, kalau bagimu langit sekumpulan uap air yang menggumpal jauh diatas kepala, bagiku langit sama tinggi denganku, juga teman bercerita, tentang kearifan-kearifan yang selama ini ada bawahnya, mudah saja bertemu dengannya, cukup daki gunung-gunung dan bersimpuhlah dipuncaknya, duduk bersila, dan merenunglah senantiasa, niscaya langit-langit akan bicara padamu tentang bagaimana arifnya mereka.
Langitku dan langitmu juga bisa jadi berbeda, kalau bagimu langit sekumpulan uap air yang menggumpal jauh diatas kepala, bagiku langit sama tinggi denganku, juga teman bercerita, tentang kearifan-kearifan yang selama ini ada bawahnya, mudah saja bertemu dengannya, cukup daki gunung-gunung dan bersimpuhlah dipuncaknya, duduk bersila, dan merenunglah senantiasa, niscaya langit-langit akan bicara padamu tentang bagaimana arifnya mereka.
Dan izinkan aku bercerita tentang dimensiku, dimana ruang dan waktu bebas tak bertuju, dan terus-menerus berakumulasi menerima partikel-partikel yang baru, karena pada dasarnya, siapa yang tau kalo semesta itu berbatas? dan siapa yang tau tentang dimensi itu berbentuk ruang dan waktu? karena bagiku dimensi itu adalah abstraksi dari berbagai macam persepsi, yang akhirnya secara egois, kita satukan, dan biasa kita sebut pola pikir. Itulah dimensi masing-masing individu.
Itulah bedaku dan bedamu, terlalu beda untuk menjadi sama. Kuberharap sekali kita bisa berdiskusi di ujung sana, tak apa bila menghabiskan selamanya. Bila nanti kita dapat berubah haluan saat berorientasi, kuharap kita bertemu nanti, di ujung galaksi.
Komentar
Posting Komentar