Pecandu Sunyi
Kali ini malam hari, berjalanku jauh ke Utara mulai siang tadi. Sejenak ingin lupa diri, karena seharian ini sudah banyak kulewat tragedi, yang untungnya bukan kepadaku terjadi. Apakah manusia memang begitu? penuh spekulasi ketika dihadapkan dengan ragu, tak kuasa berdiri dengan ide yang keliru, yang kemudian berbangga diri jika memang jitu, namun jika keliru berlarinya ia buru-buru, menuju ketiak sang ibu.
Aku muak, terasa dada ini begitu sesak, mungkin sudah seharian ini aku terisak, karena moral dan nilai yang kupercaya telah dirusak, yang dulunya rapi terstruktur kini menjadi abstrak. Bingung juga aku dibuatnya, tentang banyak keanehan yang kini sudah biasa, hingga maksud baik kehilangan makna, apalagi asa.
Apakah manusia selalu riuh, siang-malam berpesta gaduh, tiba berhadapan dengan realita dia mengeluh. Apakah yang terlontar selalu caci dan makian, tentang katanya Tuhan tak berkeadilan, giliran dilanda susah tak dipedulikan, padahal kewajiban terlaksanakan, tapi kenapa selalu tidak sesuai yang diinginkan, malahan sekarang direndahkan, diposisi yang tak terpandang.
Semua sudah berubah jadi tak masuk akal, muncul juga golongan-golongan pemikiran immoral. Kepada saudara sebangsanya mereka membual, apalagi kepada rakyat kecil... retorika mereka binal!. Sakit jidatku, apakah semua kata-kata itu hanya isu, semoga apa yang kudengar di media itu tidak palsu. ah tapi mengapa kufikir begitu, siapa dia siapa aku.
Tak salah bukan bila berlariku ke laut? daripada hilang akal karena masalah yang berlarut-larut, karena banyak orang-orang tak kenal diam dan hanya tau ribut, begituah kalau biasa hidup dalam keglamoran yang carut-marut.
Bersimpuhku setelah sampai disini, tempat dimana terlihat ujung-ujung galaksi, berlama-lama duduk mengevaluasi, tentang diri ini yang selalu menghakimi kepada hal-hal yang seringkali kuanggap basi. Sembari begitu, kudengar suara merdu, dari riuh ombak biru, menghiburnya ia kepadaku, jangan biarkan gundah menguasaimu, mulailah bernyanyi sendu, katanya begitu cara ampuh keluar dari dimensi waktu.
Berbaringku dipelataran, ternyata ini yang orang bijak bicarakan, tentang kesepian itu tak seburuk yang terfikirkan, malahan katanya kesendirian mengajarkan kebijaksanaan, dan pada titik tertentu terbentuklah kedewasaan. Ternyata ini semua bukan soal memenangkan, tapi soal mengambil pelajaran. Sejak saat itu aku sering sendiri, menatap dalam-dalam dan berelegi, lama-lama tercandu pada sunyi.
Komentar
Posting Komentar