Memoar Sebelum Tragedi


Beberapa waktu ini kopiku tak lagi senikmat dulu, tidak sepahit dan tidak sekental dulu. Rokokku juga begitu, kurasa tetap kuhirup merek yang sama tapi entah apa yang membedakan rasanya. Rupanya ada yang menghilang dari sukmaku, rupanya itu kau. Guru sekaligus kawanku.

Mohon maaf kawan, izinkan aku bercerita tentangmu. Tentang kisah dan keluh kesahmu. Tentang kau yang ternoda di mata dunia kala itu.

Dulu kau yang memaksaku melangkah kedalam gelapnya rimba, dulu kau yang meraih tanganku ketika bergelantungan di batu tajam itu, juga kau yang meraih life-jacketku dari jeram, kau juga yang menolongku agar tidak jatuh ke stalagmit-stalagtit itu. 

Kau yang begitu periang, selalu memecahkan sunyinya lereng-lereng sebelah selatan. Maafkan aku kawan, kau berpulang tanpa keglamoran.Tubuh wangi keringat perjuangan dan keikhlasan. Perhiasanmu hanya secarik slayer lusuh penuh noda tanah dan baju tugasmu, yang walaupun usang tetap gagah terlihat perangaimu.

Kau pula yang mengajarkanku bahwa satu tangan yang bergelantungan di tebing membuatku sangat-sangat dekat dengan Tuhan, lengah saat mengarung di jeram membuatku dapat samar-samar merasakan Tuhan, sesak nafas di sempitnya goa malah membuat paru-paruku dapat menghirup akan kuasa Tuhan dan tersesat di hutan gunung membuatku sadar akan begitu kecilnya aku di mata Tuhan.

Ya beginilah, tak bisa pula kusalahkan dinginnya hembusan angin. Atau derasnya hujan yang selalu menghujam kepala. Atau medan yang begitu mendaki. Atau beratnya beban yang selalu kau pikul. Atau teriknya matahari siang itu. Atau segala macam hambatan yang mengganggu psikismu. Rupanya memang Tuhan Sang Penguasa ruang dan waktu. Mungkin bagi-Nya, itu waktu dan tempat terbaik untuk menjemput namamu.

Akan kujaga warisanmu. Tentang kebaikan-kebaikan yang kau ajarkan kepadaku, tentang lelucon yang selalu kau lakonkan kepadaku, tentang bagaimana arifnya perilakumu, tentang pertemanan yang kau pahamkan kepadaku. Tenang kawan, walau ragamu pergi. Akan kujaga cerita dan kisahmu tetap abadi. Akan kuceritakan pada semuanya, tiap detailnya.

Kujaga dan kurawat semuanya, kupastikan urusan-urusanmu terselesaikan. Semua barang-barangmu terawat. Akan kuabadikan dengan figura pertemanan. Salam hormat setinggi-tingginya untukmu disana. Aku tau kau dekat, kau berada dalam doa-doaku, kawan. Bahwa pernah ada luka yang mendalam dari lereng sebelah selatan.

Sewaktu-waktu aku masih ingat kisah yang terjadi dulu-dulu. Sebelum semuanya terbelenggu waktu dan hilang begitu saja layaknya secarik kain yang tertiup angin. Belum lama memang aku bersamamu, belum berkontribusi memang  aku kepadamu, belum yakin memang aku untuk mengembanmu. Namun, aku tau. Aku yang sekarang ini, terbentuk dengan nilai-nilai yang kau benturkan kepadaku. Memang tak selalu otak dan tubuh ini menerima makna dari itu, sebuah benturan keras yang bermaksud baik untukku. Selalu dan selalu benturan keras itu menghujam otak dan tubuhku. Sesampainya aku sadar terbentuklah idealismeku. Yang beginilah jadinya.

Waktu itu, pernah kau membawaku ketengah-tengah mereka, saudara perjuanganku yang waktu itu asing. 'Dari segala penjuru' begitulah katamu. Nilai yang kau tanam itu membunuh lapisan-lapisan tebal egoisme seketika. Hari-hari itu juga tawa dan tangis kami pecah bersama. Beban-beban yang kami tanggung bersama, dimana hanya berlandaskan 'saudara' maka entah apapun tantangannya kami "trabas" demi landasan itu.

Entah berapa persisnya nyanyian-nyanyian pemecah kesunyian di lembah itu kami layangkan keudara. Jalan setapak dan pepohonan itu saksi bisu atas membaranya tekad kami. Malamnya mungkin hanya terdiam didepan api, atau sekedar berbincang untuk membangkitkan moral kami.

Sampai selesai juga momen sakral itu, penuh keringat dan darah. Aku datang kepadamu, yang pada saat itu kau membuka pelukanmu lebar-lebar kepadaku. Membuka pintu-pintu pembelajaran bagiku. Menjadikanku bak adik kandung sendiri. Sampai terjadilah Tragedi itu, yang mana tak satupun orang yang menyayangimu berharap hal itu akan terjadi padamu.

Sekarang kau sedang renta, sukmamu tercabik-cabik, namamu tak mau lagi didengar orang. Tapi kami yang sekarang mungkin tak bisa lepas dari rengkuhanmu. Berdoa dan berdoa agar namamu tak semakin dihujat lagi. Namamu akan tetap berada disebelah kanan atas bajuku.

Bahwa kau telah mengisi memoriku, yang sekarang akan ku-permanen-kan memori itu. Agar tak hilang dimakan waktu.

15.2246

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Sekarang

Dad, how did I do?

Sepotong Rindu