Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Melodia Senja

Gambar
Sewaktu Surya sudah mulai beranjak dari kedudukannya, aku pergi dari bale bambu yang biasa kupakai untuk duduk-duduk. Berjalan ke ketinggian membawa gitar dengan sedikit kudapan untuk bekal di atas sana. Mulai kufikirkan melodi apa yang akan kusampaikan lewat dawai gitarku sembari kulangkahi jalan mendaki yang sedikit berbatu. Tak terasa rupanya ketika aku sedang sibuk dengan benakku, sampai juga aku di titik ketinggian yang ku tuju. Terduduklah aku di bawah pohon randu yang agak rindang dibuat angin, sambil masih berpikir melodi apa yang paling cocok kusenandungkan hari ini.Tak lupa kuseduh kopi hitam yang bijihnya dari Tanah subur di ujung pertiwi. Kuaduk, kuhayati setiap denting benturan sendok ke bibir cangkir. Begitu sendu. Setelah itu kuhirup wangi kopi yang khas itu. Ahh, momen paling romantis di hari itu. Sambil menunggu kawanku yang kunanti itu, kutulis puisi-puisi dan sajak, kuadukan semua keluhku dalam barisan kata-kata yang syahdu, kemudian coba kulantangkan

Antar Dimensi

Gambar
Sekali waktu aku terbangun dengan perasaan kekurangan dan kehilangan, ada sesuatu yang kurang dalam benakku. Entah apa itu namun kurasa memang dalam keseharian banyak sekali hal yang tak kupedulikan, tak ku gubris sama sekali. Hari-hari berjalan layaknya biasa, tak ada yang istimewa dan menarik. Datar begitu saja, sampai terasa sekali alurnya. Mulai dari bangun tidur hingga pergi tidur. Memang rasanya kasur ini sudah akrab sekali denganku, mungkin sampai ia protes dengan bahasanya. Sampai pada akhirnya aku merasakan ada yang harus kucari, entah apa itu. Tapi kuyakin itu kau. Seseorang yang dirahasiakan Tuhan dan disembunyikanNya agar aku sekali waktu ingat bahwa aku harus beranjak dari tempatku, untuk menemuimu. Sudah kuputuskan, aku akan pergi menemuimu, sudah ku kemas barang dalam ransel beserta kebutuhan lain yang kususun rapi. Jadi tenanglah. Dimanapun dan siapapun kau, tunggu disitu. Doakan aku selamat dan tidak tersesat dalam perjalanan. Dimanapun kau, di belahan bumi

Sebaris Kalimat di Kain Lusuh Seorang Pecinta Alam.

Gambar
Berawal dari pengalaman pribadi, bagiku yang lahir dari rahim seorang ibu dan dari keringat seorang ayah yang dahulu berkecimpung di dunia kepecintaalaman. Aku dibesarkan dengan kode etik dan attitude seorang pecinta alam. Dalam merelealisasikan kepecintaalaman yang lebih terstruktur. Kini banyak organisasi ataupun perhimpunan pecinta alam. Di kampus-kampus, sekolah-sekolah atau perhimpunan pecinta alam di masyarakat. Sebagai contoh di sekolah-sekolah ada organisasi yang disebut Siswa Pecinta Alam (SISPALA) , di kampus-kampus disebut Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) maupun di masyarakat seperti WANADRI dan berbagai macam komunitas kepecintaalaman lainnya maupun mereka yang berjasa tanpa berlabel organisasi maupun komunitas. Bagiku kepecintaalaman merupakan refleksi atas rasa syukur terhadap Pencipta. Tiada keistimewaan dari kami yang mengatas namakan diri kami seorang pecinta alam. Kamilah tanah, kamilah udara, kamilah air. Kami sadar bahwa kami juga berperan sebagai elemen

Tanah Air (versi) Beta

Gambar
Aku tinggal di atas tanah yang subur kata orang-orang di luar sana. Diatas tanah penuh keragaman dan perbedaan, disebut-sebut bagai permata yang tersohor di tengah khatulistiwa. Aku tinggal dimana seluruh melankoli kehidupan terjadi.  Aku tinggal dimana padi sangat dicintai para petani. Mereka sudah keluar dari rumah-rumah mereka membawa cangkul dan arit. Berjalan dipelukan kabut fajar, di jalan-jalan yang belum teraspal. Mereka melangkah dipematang sawah, berhias senyum. Merawat padi bak anak sendiri. Aku tinggal dimana untuk sekolah, anak-anak harus menyebrang sungai, rawa-rawa atau bahkan lautan. Untuk sekadar bertemu ibu guru dan kawan-kawan, puluhan kilo pun ditempuh untuk mengenyam pendidikan. Ini bukan kejam, tapi inilah kesungguhan. Aku tinggal dimana matahari dan hujan hadir setiap setengah setahun, memberi iklim senyum pagi para penantinya. Kala variasi cuaca dan iklim memberi pengaruh besar pada keberlangsungan hidup kami, hutan kami, laut kami dan rumah kami.

Lebih Dari Itu.

Gambar
Rupanya setelah aku repot-repot membolak-balikkan kata-kata yang dengan sengaja kuotak-atik maknanya tak juga kunjung kutemukan definisi dari rasa itu. Rasa dimana kau tiba-tiba menatapku di pertigaan jalan setapak, saat aku sedang menunggu ada yang "menarik" di kelopak mataku. Ternyata itu matamu. Mata yang entah mengapa aku bisa melihat semesta dimana ada aku didalamnya, juga kulihat rasa penasaran dari tatap matamu yang sepersekian detik bisa bertemu dengan mataku. Apakah ada sesuatu disana. Entah mengapa sepersekian detik ini cukup bagiku untuk menatap dalam-dalam matamu. Juga sampai sekarang aku seperti candu ingin menatapmu lama-lama. Kalau boleh kuanalogikan ibarat aku sedang berjalan digelapnya hutan rimba, menebas ilalang-ilalang tinggi dalam rimbunnya pepohonan yang setelah beberapa saat kulakukan itu akhirnya aku melihat cahaya putih, kemudian dengan segera aku berlari kearahnya. Disana kulihat dataran dengan hamparan rerumputan hijau yang berkilauan.

Sepucuk Senja Untuk Kekasih.

Gambar
Lagi-lagi aku rindu kamu, rindu hangatnya sela-sela jemarimu. Ya, itu yang terakhir kuingat beberapa tahun yang lalu. Saat semesta begitu tak adil, seakan jarak dan waktu tak merestui kita. Kini aku merantau jauh ke kota berselimut kabut di antara pegunungan. Begini, kasih. Aku sudah berkelana sana-sini. Mengendarai hati usang yang waktu itu pernah kuboncengi kamu dengannya. Dengan perasaan yang sama saat kamu tidak ada di jok belakangku. Ratusan kilometer kulalui dengan hampa hening. Sulit sekali rasanya memalingkan wajahku walau aku hanya bisa menutup wajahmu sesaat. Seakan otak ini menolak lupa.  Sesaat aku terbesit untuk kembali mencarimu di tengah tumpukan memori. Menggali lagi kenangan-kenangan yang mungkin sekarang sudah basi. Dan berharap untuk memulai lagi. Maka dari itu tak enak rasanya bila aku yang sudah lama pergi tak membawa buah tangan untukmu yang mungkin sedang menunggu, walaupun ada juga kemungkinan kamu sudah jauh pergi. Aku bingung buah tangan apa ya

Perjalanan

Gambar
Saat ini aku sedang memilih, ke kanan atau ke kiri. Yang jelas aku tidak mundur ke belakang. Ya, aku sedang dalam perjalanan. Menuju kedewasaan dan kebijaksanaan. Aku tak peduli berapa lama sampai tujuan. Entah berhari , berbulan, bertahun ,berabad. Yang kupikirkan, aku harus bisa jalani detik ini. Aku melangkah jauh, ketempat yang belum banyak dijajah eksistensi. Mencari keberagaman dan kebaikan dari peristiwa-peristiwa. Dari ketidaksengajaan dan kebetulan. Aku mengobservasi, mendengar dan merasakan. Apa saja yang tersirat di semesta ini. Aku tertarik dengan beragamnya variasi di muka bumi. Aku suka sekali memerhatikan gunung-gunung tinggi, betapa besarnya mereka. Bijaksana nan agung. Mengakar di muka bumi, mungkin menjaga supaya tanah tetap pada tempatnya. Ia juga menghujam langit, penghubung antara langit dan bumi. Ia menyampai pesan, bagi para penguni bumi. Kepada yang diatas langit. Aku jatuh cinta dengan momen, ketika kulihat senyum anak-anak kecil diperkampungan, sed

Sang Proletar

Gambar
Aku ada di antara kalian, sementara kalian selalu melihat ke atas, ke arah para kapitalis, para borjuis. Aku dibawah sini ada, sedang mengais. Aku tinggal di bantaran sungai, di kampung kumuh yang berlumpur. Sudah berkali-kali peringatan relokasi datang ke kampungku, menutut pindahnya kami ke tempat yang lebih layak menurut mereka. Menjauhkan kami dari kemandirian kami. begitu yang terjadi namun tetap saja kami ditakuti penguasa. Kata-kata kami lebih menyayat dari pada pisau, lebih menusuk dari pada peluru. Kami musuh para birokrat, tak jarang kami disebutnya keparat. Kami lambang anarkisme, lambang perlawanan dan pemberontakan. Kami lahir dan besar di negeri ini, kami bukan turis, apalagi dianggap ekspatriat.  Kepalan tangan sudah kaku, sampai sukar digerakkan. Otot lengan sudah semakin keras, teringat betapa lama lengan ini menghujam langit. Kami juga ada diantara para demonstran, tak jarang di garis depan. Kami ada diantara para buruh, para aktivis, para wartawan, para j

Watak

Gambar
Aku melihat lelaki itu, melangkah  di selasar gedung. Dengan pandangan yang ringan, kepala sedikit mendongak , rambut ikal menutupi sebagian keningnya. Ia melewati beberapa orang diselasar itu. Bertemu beberapa teman sepertinya membuatnya sedikit antusias, namun dari sorot matanya tetap saja ia ingin independen. Biasanya setelah di ruangan ia mengambil tempat duduk agak ditengah, menghindari perhatian yang tidak berarti. Walaupun begitu ketika dibutuhkan, ia dapat berbicara dengan lugas. Pembawaannya mencerminkan kebosanannya dengan rutinitas. Sepertinya ia punya banyak hal yang ia kerjakan diluar rutinitas yang biasa ia perlihatkan. Kelihatannya ia orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, punya pemikiran sendiri dan punya pola perilaku yang khas. Walaupun begitu fleksibilitas juga terpancar ketika ia berbicara dengan orang lain, ia tidak kaku. Caranya memandang sesuatu selalu menghindari justifikasi akan presepsinya. Ia biasanya berlama-lama memikirkan suatu hal. Mungkin s

Belenggu

Gambar
Aku bingung dengan jatuh cinta, apakah aku harus merengek layaknya barang rongsok yang meminta untuk dipakai kembali. Apa aku harus memohon seperti para pengemis yang susah makan. Apa aku harus menjerit seperti orang yang kehilangan harga dirinya. Apa aku harus membuat sajak-sajak indah nan puitis. Apa aku harus menyenandungkan lagu dengan suara merdu. Apa aku harus romantis layaknya pujangga pengembara. Aku bosan dengan kisah-kisah, lagu-lagu, sajak-sajak dan puisi-puisi cinta. Aku pikir semua itu hanya retorika. Analogi-analogi yang tak tersampaikan. Hasil dari biasnya pemahaman akan hak perasaan. Kupikir hal-hal itu hanya representasi akan lemahnya pendirian. Kenapa jatuh cinta serepot itu. Bagaimana dengan orang yang terlalu fakir, apa ia tak  berhak untuk jatuh cinta. Bagaimana dengan orang yang tak mengerti romantisme, apa ia juga tak masuk kriteria untuk orang yang boleh jatuh cinta. Kenapa jatuh cinta malah jadi lebih seperti kutukan, padahal yang ku tau ini anugrah.

Bumi dan Bulan.

Gambar
Dari kejauhan Bumi melihat Bulan.  Bulan, dengan  senyum syahdunya yang biasa, dengan remang sinarnya yang biasa. Sementara semesta terlalu gelap dan sepi. Karena saking mempesonanya,bumi malu dan enggan untuk berbicara pada Bulan.Walau begitu Bulan tetap tak segan memecah suasana sepi dengan perkataan halusnya, bahwa Bulan diciptakan oleh Tuhan hanya untuk Bumi.   Bulan dengan sepenuh hati menerima bila sepanjang masa harus terantai bersama Bumi. Namun sampai sekarang Bulan hanya menjalankan tugasnya sebagai pendamping bumi. Alhasil Bumi merasa minder, dengan tubuh gemuknya dan sekarang mulai bau. Bumi ragu apakah Bulan hanya sekedar terpaksa menemaninya, mengapa Tuhan tega sekali memasangkan Bulan yang sedemikian cantiknya dengan Bumi yang lusuh dan gemuk. Bumi pun memutuskan untuk bertanya dan mendeklarasikan perasaanya pada Bulan. Kala senja sedang merah merona, duduklah mereka di taman Bimasakti. Lalu bumi bertanya kepada Bulan tentang keherananya selama ini.