Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Senandung Intim Akhir Tahun

Desember, memori sepanjang tahun teraduk tercampur. Mengingat kembali hal-hal bodoh yang sudah terlanjur, 2018 sudah uzur. Semoga Januari dan kawan-kawannya berbaik hati, semoga warna-warna pelangi yang terdesaturasi dapat memenuhi memori. Tak apa pudar, yang penting benar. Hari minggu terakhir sebelum berganti masehi. Memang kuniatkan untuk bangun pagi, sekedar berlari kecil mengelilingi sepersekian permukaan bumi, meremajakan kaki, karena sudah lama dimaklumi. Lalu hujan turun, seperti lagu Efek Rumah Kaca, hujan Bulan Desember juga kesukaanku, entah seperti berbeda saja rasanya. Kamu tau yang kusuka dari suasana selepas hujan? Ya, mungkin sama. Aroma rumput dan pepohonan yang basah, kicauan burung yang kegirangan, angin sepoi yang menyejukkan dan keheningan. Keheningan yang seperti membuat ada jeda di antara waktu itu, mengungkit dan meleburkan kenangan, entah manis atau pahit, semuanya bercampur baur. Membuat kita hanya mesti memaklumi, memahami dan menjadikan pelajaran

Kata-kata tak cukup untukmu.

Kata-kata tak cukup untukmu. Begitu kataku. Kau tau, kalau kau tanyakan aku apa yang akan kuberikan padamu, aku akan berikan tiga Cinta. Semesta. Dan secarik kertas. Ketika kau tanyakan cinta yang apa dan seperti apa, akan kujawab. Cinta yang akan kuberi bukan seperti yang terpampang di media sosial, bukan yang diperdagangkan dilembar-lembar novel, bukan yang di kutip orang di kuotasi-kuotasi populer. Cintaku pun bukan kata-kata gombal yang sepah. Cintaku adalah 'kamu'. Dan cukup sampai disitu. Tanpa ada 'kamu', kata-kata cinta tak perlu. Apa artinya kata cinta tanpa kamu. Ya. Kupasrahkan saja maknanya didalam kamu. Akupun tak tau harus menggambarkannya dalam bentuk apa. Perhatian? Kasih sayang? tidak. tidak-tidak. itu tidak cukup. Akan kuberikan segalanya, sampai kata 'segalanya' pun tak cukup untuk kuberi. Karena dari nalarku. Kata 'kamu' lebih dari kata 'segalanya'. Ketika kau menanyakan bagian apa dari semesta yang kuberikan. Ak

Bias.

Sebagai orang yang tak pernah ingin berhenti mempertanyakan, kita pasti sering tersesat pada kebingungan. Di persimpangan jalan, memilih ke kiri atau ke kanan atau bahkan kembali ke belakang. Dan puncak kebingungan dicapai ketika..... kata-kata sudah tak lagi dapat menggambarkan dan menjadi bagian dari visualisasi akan maksud yang kita punya. Beberapa akan kujabarkan, Ada yang memetaforakan kalimat-kalimat indah sebagai tautan dari maksud tertentu, orang-orang labil biasanya suka mendengar atau membaca serangkaian tulisan yang mencerahkan mata dan memanjakan telinga. Tapi tidak sampai ke rasa dan logikanya. Manusia biasa yang indranya tumpul, mudah saja menggamblangkan sesuatu yang esensinya kompleks. Cinta. Siapa yang sejatinya tau akan maknanya? Bahkan penyair agung Kahlil Gibran pun mengaku amatir soal percintaan. Kuyakin kau tak tau dia, kau kurang baca, sama. Kata-kata tak cukup menggamblangkan essensinya, indra manusia dan budaya kata tak cukup sampai kedalam pemvi

Lebih baik tidak.

Pastinya, kita saling mengira-ngira. Entah kekaguman yang terpancar dari mata kita masing-masing itu benar adanya atau tidak. Setidaknya aku yang mengaku, aku mencuri waktu dari semesta untuk sekedar memandangmu. Aku tak tau kau juga iya apa bagaimana, tapi yang jelas, kita canggung. Entah kau memang menghindariku karena tak nyaman setelah kau baca tulisan-tulisanku. Atau entah alasan yang apalah. Kalau karena kekagumanku padamu, membuat frekuensi temu kita menjadi suatu yang tabu. Membuat jarak antaramu dan aku semakin tak terjangkau. Malah saling takut untuk memulai dan membuka obrolan baru. Membuat komunikasi dan hal-hal silang tidak menyaling. Lebih baik aku tidak kagum padamu. Lebih baik kita seperti dulu, basa-basi tanpa ragu. Lebih baik kita tak saling tau. Siapa tau. Kita tak seperti ini.

Kau bukan pembacaku.

Aku sediakan buku, namun ternyata kau lebih suka melukis. Salahnya, aku tak menyediakan kanvas karena aku tak tahu ternyata kesukaanmu itu. Saat aku sediakan payung, kau malah lebih suka basah, terjamah air hujan. Kalau aku suka berkesah, menurutmu itu seakan hal lumrah yang entah. Kupaparkan logika dan idealita, kau menolaknya mentah. Kubuatkan puisi, kau bilang itu terlalu metafora, katamu romantika jaman sekarang sudah tak sinkron dengan kata-kata indah, puisi sudah sepah. Kupersembahkan lagu, yah, kau mengharapkan yang merdu, kau menolak mendengar dulu, apa substansi laguku. Lalu cara apa lagi supaya aku dapat? sampai-sampai mencarimu saja aku tersesat, tak menemukan jalan yang tepat. Kata orang, wanita umumnya bertahan pada kodratnya , yang para lelaki harus paham kode dan isyaratnya. Apakah cara yang kupakai bukan kodratku? menunggunya memahami kode dan isyaratnya dengan caraku, bukan cara yang jitu? Apa harus menduduki diriku didepannya lalu melontarkan kalimat akuisisi

Suatu saat

Mungkin suatu saat, Kau menemukan lelaki familiar yang sepertinya pernah kau kenal, saat kau disudut kafe. Dan kau menyadari, lelaki itu selalu curi pandangan, memandangimu diam-diam. Dan kau bisa melihat kekaguman dan rasa penasaran dimatanya. Sampai akhirnya kau berhasil ingat, dia kenalanmu di suatu tempat dulu. Berusaha mengingat namanya, namun lupa. Kemudian lelaki itu berjalan kearahmu, kau pun berdebar. Dia menyapa terlebih dahulu, apakah kau dia, wanita yang ia kenal dulu. Dan kau membenarkan, dan terjadilah perkenalan ulang. Seperti skenario klasik, kalian berbincang satu meja, berlama-lama, melewati senja, hingga malam renta. Dan kau ingat, dia lelaki yang mengucapkan "Selamat wisuda" dengan lirih. Mungkin suatu saat, Kita akan bertemu saat kau sedang menempuh studi master di benua tertentu, aku sendiri, berkelana, dengan tas besarku. Lalu karena kita saling mengenal, kita saling menyapa dan entah apa alasannya kita berbincang tak tau waktu, melupakan

Tidak sekarang, nanti.

Banyak yang bertanya padaku, kenapa aku tak menjalin hubungan dengan perempuan di usia dimana gengsi pergaulan sangat menuntut itu. Entah yang membuatku sebagai lelaki sejati katanya, atau sekedar memberitahukan kalau aku 'laku' di mata pasar. Seperti yang beberapa orang tahu, jatuh cintaku sembunyi. Ketertarikan aku jadikan sebait puisi atau tulisan. Namun, tak ada yang aku eksekusi dengan gaya jaman sekarang, 'pacaran'.  Selain aku tak bisa menemukan logika yang tepat untuk gaya tersebut, mengartikan dan mengkorelasikan jatuh cinta dan mengikatnya dalam sebuah hubungan tak berdasar selalu mengganggu penalaranku terhadap berhubungan itu sendiri. Intinya, aku tak mau hubungan yang dibangun tanpa pondasi kokoh, hubungan datang dan pergi, tanpa jaminan dan kepastian. Basi. Setidaknya kupelajari itu dari yang dulu. Lagi pula, skenario terburukku jika aku sampai terpaksa menjalin hubungan itu dengan seorang perempuan. Aku tak tega dan tak rela. Ia harus tau susah

Jatuh Cinta Lagi.

Selang berapa waktu aku tak melihatmu, kupikir aku akan terbiasa dan bahkan sempat merasa lupa dengan apa yang kuhiperbolakan segalanya untukmu dulu. Hari juga berjalan selayaknya 24 jam yang lain. Tak terpengaruh. Lalu kumelihatmu lagi, dan lagi-lagi bukan di momen yang tepat, saat ada urusanku yang sedang tenggat. Aku tak tau apakah kau tau, aku memerhatikanmu dari sela-sela kerumunan. Mencuri waktu yang mungkin secara tak sengaja disediakan semesta untuk sekedar menatapmu. Dari analisaku, kau masih seperti dulu, saat rasa kagumku sedang di puncaknya. Kau masih dengan kesederhanaanmu, dengan senyum tipis yang kugilai dulu. Mungkin kau menjaga untuk tak tampil mencolok, tak mencari-cari perhatian dan itulah yang membuatku semakin jatuh hati dan jatuh lagi. Membuatku semakin tak bisa berkata-kata dan tak sanggup menatapmu lebih lama lagi. Walaupun aku ingin, setidaknya mata kita bertemu. Membuat ada tanda tanya besar muncul di hatiku, apakah masih ada ruang di hatimu untu

Bicara Padaku.

Kalau kau diam saja, mana kutahu. Entah selama ini kita sama-sama masih menunggu, atau malah saling membiarkan. Kalau kamu tanya aku, kekaguman itu tetap ada. Ia bersemayam damai, terpupuk subur, tumbuh. Hanya saja ia bergerak dibawah tanah, masuk keruang-ruang sempit, meraba-raba, mencari jalan menggapaimu. Aku yakin hatimu bergumam, "kenapa tak kau dulu? kau 'kan laki-laki" . Ah sial, aku memang sepecundang itu. Tak ingin mengorbankan hubungan yang sudah kubangun, yang takut nantinya akan menjadi kecanggungan. Kau semakin sibuk dengan ambisimu, dibunuh rutinitas, semakin tak terima dengan kekosongan waktu, kau melaju cepat didepanku. Bahkan bayangmu tak sanggup aku iimbangi geraknya. Dan kuyakin kau tak mau menungguku yang masih belum dewasa. Belum selaras dengan pemahamanmu terhadap laki-laki yang kau idam-idamkan itu. Tentu saja aku canggung, mungkin sama canggungnya denganmu saat kita bertemu dan bahkan sebenarnya kita punya kesempatan untuk bicara lagi

Memaknai Ngopi dan Kopi.

Setelah hampir memutuskan untuk berhenti menulis di laman blog ini. Akhirnya jemariku memilih mengulang kembali untuk memencet tuts lagi. Logikaku juga masih dapat menalarkan hidup dan keunikan di dalamnya. Demi hal-hal tak penting, aku menulis lagi. Memasuki bulan Oktober, tanggal muda membuat dompetku agak berisi. Kiriman orang tua periode kali ini memang kuminta untuk dilebihkan sedikit, dengan dalih aku ingin keluar malam. Menjelajahi sela-sela Jogja yang belum kujamahi di paruh waktu yang kemarin. Mengingat waktuku di sini - kuharap - tak lama lagi. Warung kopi ke warung kopi kujamahi, mulai dari angkringan sederhana sampai cafe milenial dengan masing-masing kebijaksanaannya.  Semua mengesankanku dengan suasananya. Di angkringan kopi, aku menyadari bahwa kopi sudah tak perlu lagi ketenaran, tak perlu keahlian, tak perlu kekhususan. Di angkringan, kopi membumi, ia tak dibuat dengan mesin-mesin, kopi dijajakan sesederhana suasananya. Tak peduli latar belakangmu apa, kopi

Masih Ingat Waktu Itu?

Masih ingat waktu itu? Saat ujung jemarimu merambat pelan menyusuri nadiku, terus menurun sampai akhirnya dapatku genggam lekat di setiap sela-sela jemariku. Lalu kau tatap aku seakan-akan Tuhan tak menciptakan waktu. Bagimu saat itu, mungkin asal ada aku, tak peduli semesta ini jadi apa. Asalkan genggaman tangan menjadi saksi bisu Tuhan saat dunia diporak-porandakan sekalipun, kau rela mengakhiri hidup dengan mata berbinar yang kau arahkan ke mataku dan kutangkap dengan tatapan lembut. Lalu larut. Di waktu yang lain, aku masih ingat ketika angin meniup rambutmu, membelainya lembut. Membuat rambutmu berkibas, meluapkan keindahan yang membuatku hampir kehilangan waras. Pegunungan dan kebun teh yang membentang membuat suasana makin khas, apalagi ketika sinar matahari jatuh pas menerpa wajahmu. Lalu apa lagi yang sanggup kukatakan? Sementara kata yang paling romantis tak pantas aku ucapkan, kupasrahkan saja kalimat indah yang tak dapat kudefinisikan pada senja, yang jatuh di wajah

Hidup dan Kegilaan.

Mengenai bulan, bintang dan dingin angin. Malam itu aku sibuk memandangi kopiku, mengamati setiap endapannya bersatu. Kopi lokal Wonosido yang di Tubruk secara hati-hati memikat seluruh indraku, teresap ke dasar gelas di setiap hirupnya. Kubiarkan cangkir menarikku semakin dalam ke dimensi lain, diantara butir-butir bubuk kopi yang saling beradu, aku tercandu. Disisi cangkir, sebungkus tembakau menunggu sungut untuk di sulut. Kopi dan tembakau memang pas untuk teman meracau. Menertawakan hidup yang kacau. Sementara pendar lampu malam semakin geram, meminta anganku untuk segera larut dalam temaram. Hanyut dalam larut.  Insting-instingku menajam, memunculkan keinginan akan jawaban pertanyaan. Tentang hidup dan kegilaan. Dan mulai mengangankan kata-kata baru, seperti Sapardi dalam puisinya atau Jason Ranti dalam lagunya. Apakah aku bisa menemukan kata-kata sedalam "Kita abadi, yang fana itu waktu" atau "Kata yang paling cinta, kupasrahkan didalam dia" ? Mung

Memulai Dari Minus.

Mempolakan abstraksi, mencerna pendar fraksi, menjadi berisi lalu meringkasnya menjadi arti. Manusia memang subyektif, merasa hal-hal yang pernah dilaluinya merupakan hal yang tak dapat dilakukan individu lain.  Merasa paling hebat, ingin diakui. Demi mengesampingkan hal itu, aku memulai perjalanan, tak jarang aku menemukan persimpangan, benar dan salah masih bias di mataku. Untuk itu aku menyelam dalam percobaan, tak jarang nyaman berkutat di lingkaran kesalahan akibat tak membatasi pergaulan. Namun, bagiku kesalahan juga bagian dari perjalanan. Aku mengekstraksi kebaikan dan kebermanfaatan didalamnya. Dibawah nol, aku pernah terpuruk. Tersesat disemak-semak kekeliruan. Saat tipu daya setan terdengar seperti nyanyian lagu malaikat. Begitu memikat sampai terikat. Aku tenggelam semakin dalam menuju kegelapan. Sempat tak bisa membedakan, semua semakin seakan-akan. Bias, segalanya semakin tak jelas.  Aku mencoba segalanya,  Aku menulis, 99% tulisan cinta dan hiperbolaku l

Ekspektasimu.

Tentang kamu yang selalu mengeluhkanku. Kamu selalu bercerita dengan segala mispersepsimu kalau kamu tak suka lelaki tipe begini, sambil menyebutkan keburukan-keburukan atau kebiasaan kurang baik yang belum bisa kutinggalkan. Lalu kamu memalingkan pandangan, berhenti memandangku sebagai kemungkinan. Kamu mengidamkan lelaki sempurna sampai kamu lupa menyempurnakan diri. Sampai suatu saat kamu sadar lelaki sempurna itu tak ada dan dirimu tak mungkin bisa sempurna. Kenapa tidak kamu ubah saja ekspektasimu?  Tak maukah kamu jatuh cinta dengan lelaki biasa dengan banyak kebiasaan yang tak kamu suka, lalu dengan rendah hati kamu membangunkannya, membantunya menemukan titik balik di hidupnya, membuat ia laki-laki seutuhnya. Membukakan mata bahwa ia menanggung beban berat sebagai lelaki, sebagai seseorang yang suatu saat mengemban keluarga atau bahkan bangsa. Bukankah jatuh cinta itu saling membangun? Bukankah jatuh cinta itu proses? Apa ekspektasiku kontra dengan realitanya?

Tumpuan

Pagi ini menyejukkan, lebih menuju dingin sebenarnya. Bagai seorang pesakitan, aku ringkih. Aku menangis, bersedih, depresi, stres dan khawatir. Realitas sangat kejam, karena sudah terbiasa sakit, mengaduh pun tak pernah kuungkapkan. Kutampilkan ke tidak pedulianku ke segala hal. Padahal aku memikirkan setiap detailnya dan bagaimana aku harus menyikapinya. Hanya kata-kata yang dapat kurangkai dalam beberapa paragraf, sambil kutekstualkan tangisanku. Mengaduh kepada siapapun kurasa tak perlu, mereka tak ada waktu untuk mendengarkan keluhan orang asing dan kuyakin mereka tak benar-benar peduli. Jadi kupilih jalan pelarian, meyakinkan diri bahwa diri sendirilah yang menentukan bahagia atau tidak, dan kulakukan perjalanan. Tak lain untuk melupakan kekhawatiran, dan menemukan diriku sendiri, yang sebenar-benarnya. Sendirian, bukan berarti tak ada yang mau menemani, tapi aku lebih nyaman begitu. Sendirian berarti memilih untuk sendiri, dan memuaskan egoku. Dan aku paham sekali re

Selamat Jatuh Cinta

Cerita tentangku, yang telah kalah. Naasnya ia cepat sekali mendeklarasikan labuhan barunya. Kekalahanku tampak gamblang dibuatnya. Perjuanganku rasanya tak berarti apa-apa sekarang. Selama aku gagal dan kalah, tak pernah sepecundang ini rasanya.  Tulisan ini kubuat dengan maksud memproklamasikan rasa, dalam tempo yang sesakit-sakitnya. "Aku, mewakili seluruh perasaan dan hiperbola yang pernah tumpah-ruah mendanau. Mewakili seluruh lagu-lagu dan untaian sajak puisi yang telah kau buat kacau. Mewakili doa-doa yang kuracau. Mewakili seluruh perjalanan dan petualangan yang ditolak 'rumah' untuk pulang dari rantau. Yang pada akhirnya hanya membuahkan patah hati dan risau. Dengan ini aku menyatakan : Selamat Jatuh Cinta" Dan kata terakhir yang kutangkap dari seluruh perilaku dan gerak-gerikmu mengatakan. "Selamat Merelakan"

Aku Kalah.

Pantas saja. Pikirku selama ini tak digubris olehmu. Ternyata ia yang kau agungkan lebih menarik dan lebih dapat menjaminmu di masa depanmu. Kuyakin bagimu, ia dapat membahagiakanmu dengan cara yang lebih nyata daripada aku, seseorang yang hanya dapat menjanjikan kata-kata dan membanggakan mimpi-mimpinya. Ia juga lebih pandai berpuisi dan merangkai kata bahkan sudah menjadi karya sastra yang terbit dan dijual di toko buku terkemuka. Puisinya mengundang popularitas dan menaikkan elektabilitas dirinya dibanding aku. Tapi hanya untuk kau tau, puisiku tak mencari popularitas. Ia bergerilya di ruang-ruang sempit, dengan banyak torehan sakit dan diciptakan hanya untukmu seorang. Bukan untuk khalayak, bukan untuk orang menyatakan puisiku layak. Puisiku lebih murni, yang tercipta dari hati yang koyak. Ia bahkan menuntut ilmu ditempat yang lebih bergengsi dari pada aku, lebih terpandang dimatamu dan kuyakin juga orang tuamu. Lebih dapat menaikkan derajatmu, lebih dapat menghidupi dan m

Karsa.

Mari menikmati anugrah cinta Sang Kuasa sesuai kehendak yg tertanam secara nyata. Aku ingin mencinta dengan saling bertukar senyum dan saling memandangi saat kita pergi ke pucuk-pucuk bukit untuk sekedar melihat awan atau lautan. Lalu menyadari kita adalah bagian dari komponen semesta yang padu dan sedang menyatakan untuk membaku menjadi satu. Sambil berpegangan tangan, mulai saling menaruh harapan dan melakukan beberapa persiapan untuk tantangan yang ada di depan. Aku ingin mencinta dengan menua bersama , dengan bahagia yang sederhana, apa adanya,  tanpa harus memikirkan gengsi untuk mengesankan manusia lainnya. Memprinsipkan diri bahwa bahagia hanya milik kita dan untuk kita. Dengan keyakinan asal berdua, tak peduli tujuannya kemana, tak peduli esok makan apa, mau mendaki atau menurun. Kita akan sampai ditujuan yang sama, yaitu kebahagiaan yang kita usahakan bersama. Aku ingin mencinta dengan menulis mimpi yang sama. Walau dengan cara berbeda sampai berpisah benua. Pad

Merajut Asa Bersama

Jatuh Cinta. Dengan melankolisnya aku terpaksa mengangkat tema, yang bagiku masih bias maknanya. Namun untuk sekadar mentekstualkan pemahamanku tak apa, toh hanya untukku. Pembaca hanya bonus. Bicara tentang 'bersama' dan korelasinya dengan jatuh cinta. Mungkin perlu pemaknaan yang lebih dalam. 'Bersama' yang sesungguhnya tak bisa hanya dicapai dengan ungkapan 'i love you'   dan dibalas 'i love you too'. 'Bersama' berarti membangun segalanya dari nol kemudian menjaganya dari segala badai yang menerpa sampai waktu yang  tak hingga. Menaklukkan ketidakmungkinan bernama egoisme untuk mengedepankan kebaikan dan tidak menganggap lagi hidup sebagai satu melainkan dua individu yang sedang berusaha jadi satu. Dan semua dilakukan 'bersama', tidak saling menuntut untuk memenuhi kebutuhan salah satu. Tidak menuntut untuk secepatnya mewujudkan janji-janji dan tidak memaksakan hal-hal yang sebenarnya belum mampu untuk di wujudkan salah sa

Tak Utuh.

Mengenai aku, yang  separuh. Mungkin dia sudah tau dari mulut teman-temannya, tentang aku dan susah yang kuukir dalam tulisanku. Semenjak hiperbolaku tersebar ke khalayak, seakan mereka tau kemana tulisan cengengku tertuju. Sebagian salah, sebagian lagi benar. Dan yang benar ini, menyampaikan informasinya kepadanya. Mungkin ia sudah baca hampir semua dan akhirnya paham kalau 'dia' yang kupuja dalam tulisanku benar-benar dia. Namun, apadaya. Dari gelagatnya, rupanya hanya aku yang bergetar ketika tak sengaja menangkap matanya. Rupanya hanya aku yang salah tingkah ketika berjalan menujunya. Dan rupanya memang hanya aku yang secara liar menulisnya dalam tulisan-tulisanku. Ia membuatku semakin ingin menertawakan diriku sendiri. Ini penolakan, rupanya. Hari-hari indah dan ukiran cita-cita diwaktu yang akan datang rupanya hanya proyeksi yang fiktif. Hanya gambaran perasaan yang utopis. Kedatarannya yang aku perhatikan itu bukan hal buatan, aku tidak menarik dimatanya. M

Tentang Dia dan Jatuh Cinta

Aku tak pandai mendefinisikan cinta , namun karena keresahanku ketika mereka mendefinisikannya kurang gamblang dan masih subjektif. Aku menulis kenyataan yang aku reka. Ku campur semuanya dan kutuangkan di dalam dia. Dalam bentuk-bentuk di luar logika. Dalam kata-kata di luar artinya. Dalam lagu-lagu di luar iramanya. Lalu aku benar-benar menjatuhkan diriku ke lubang yang sangat dalam, gelap dan tak tentu mana dasarnya, jatuh ke dalam cinta. Aku tau sebelum itu, jatuh cinta padanya adalah masalah yang akan sangat kacau sekali. Tapi entah kenapa, senyumnya malah ku gilai semakin nyata. Beberapa wanita terlihat menawan, namun entah mengapa yang memikat hanya dia. Dan menggambarkannya dalam bentuk yang seperti ini mungkin dosa. Makanya aku sering bertanya kenapa rasa seperti ini diciptakan Tuhan kalau memang dilarang. Namun, seharusnya tak apa. Aku menahannya hanya dalam bentuk perasaan dan secara rutin kudoakan. Dengan semoga yang sangat kusemogakan. Kusebut saja 'dia&

Sisi gelap.

Menjelang malam minggu. Make friends with your dark side. Beriringan dengan waktu, masalah-masalah datang terakumulasi, mengendap dan membentuk kerak. Semakin aku mengenal manusia, semakin ingin aku keluar dari komunitas yang memaksa aku masuk di dalamnya. Itu mengapa aku lebih suka berbincang dengan angin, lebih manusiawi dari pada manusia itu sendiri. Sampai akhirnya aku lelah mencari kesepahaman dengan orang lain, pikiranku menolak keterbukaannya. Aku membiarkan pikiranku menutup dan mempersetankan orang lain. Memprogram supaya ia bisa adaptif dan terlihat mayoritas di depan orang lain. Perihal cinta tak ada perkembangan yang aku harap-harapkan. Entah prinsip dan pendirianku yang terlalu kuat atau lemah.  Janji-janji masa kecilku pun setelah kutelisik semakin tak realistis, wajar saja kedewasaan dan proyeksi masa depan masih kukesampingkan kala itu. Semoga yang terlibat di dalamnya tak terikat apa-apa dan menyadari itu adalah kenaifan yang luar biasa.  Sementara 'dia&#

Sinergitas.

Di malam-malam yang suntuk, kuliterasikan pikiran acak. Bahwa setiap tulisan akan menemukan pembacanya. Seiring berjalannya waktu, tulisanku membawa kepada kesimpulan-kesimpulan. Bahwa netizen yang berbahagia, datang untuk menikmati bahasa-bahasa cinta yang cenderung metafora. Indah namun semua subjektif dan khayalan. Bahasa cinta memang memanjakan mata dan menggelitik telinga. Namun ia bagai narkoba bagi hatimu, semakin sering kau mengesampingkan logika, hatimu rabun. Tercandu cinta yang sempurna dan ideal untuk sesama. Namun yang harus kalian ketahui, logikalah yang membuat sehat sebuah hubungan. Perlu pembuktian? Dari mana rasa cemburu, dengki, marah, galau itu datang? Kalau hatimu mati rasa dan rabun perasaan, bagaimana menyelesaikan masalah secara objektif kalau tidak melibatkan logika? lalu kenapa kalian lebih cenderung memahami bahasa cinta daripada menajamkan logika? Itulah kenapa masalah hubungan kadang berakhir kandas secara sepihak dan meninggalkan satu pihak dengan

Aku dan Mahameru

Beberapa bulan yang lalu, saat waktu belum terasa sefana ini. Aku memutuskan untuk pergi. Mengemas barang-barang dalam tas besar yang sebenarnya sangat enggan kuangkat. Tenda untuk berkemah, Logistik untuk menyambung hidup dan alat lain yang dapat menunjang keselamatanku. Sekedar informasi saja, perjalanan merupakan tempat bertaruh nyawa dan mendaki berarti kamu membahayakan nyawamu senyatanya dan secara terang-terangan! Namun bagiku, Tuhan sudah mengatur segalanya. Dan melangkah merupakan satu-satunya pilihanku, untuk diriku yang baru. Poin terpenting dalam perjalanan ini adalah, aku sendirian. Berikrar tak menghubungi siapapun kecuali orang tua, itupun terkait izin dan melaporkan kondisiku yang terkini. Bertekad untuk menyelesaikan semuanya, sendiri. Lalu kembali. Aku berangkat ke Stasiun, menunggu kereta yang akan kutumpangi sampai Malang. Sambil menunggu, kubaca pengetahuan umum yang sekiranya dapat membantuku dalam mendaki Gunung itu. Cemas, itu yang kurasakan. Tapi tekad

Singularitas.

Kalau meracau di tekstualkan, begitulah tulisanku beberapa terbitan yang belakang. Kerap kali aku mencari bahan pelampiasan, namun entah kenapa aku lebih suka mencaruti kehidupan dalam tulisan. Karena itu terekam, dengan menulis aku abadi. Mempersetankan waktu. Riuh tak lagi membuatku nyaman, buat apa jadi bagian dari keramaian kalau keberadaanku terasingkan. Seperti kata orang bijak, lebih baik berteman dengan keheningan daripada tenggelam dalam gaduh keramaian. Dan dari situ pun aku jadi paham, semua yang pernah menjabat tanganku tak serta merta menjadikannya teman yang benar-benar 'teman'. Bentuk watak manusia sekarang makin variatif. Semakin banyak variasinya semakin sulit aku untuk menyesuaikan diri dan semakin banyak aku memunafikkan perlakuanku kepada masing-masing jenis manusia tersebut. Sangat merepotkan bagiku. Bersosialisasi bagiku sekarang hanya sebatas memenuhi kebutuhan sosial. Sementara untuk memperkaya jiwa agar lebih bermakna, berdiam di keheningan d

6 semester.

18 Maret 2018. Hampir 3 Tahun. Aku memupuk pemahaman. Apa yang sebenarnya yang menjadi esensi menempa ilmu di perguruan tinggi. Satu-dua orang kutanya, tiga-empat variasi jawabannya. Kalau hanya untuk bekal bekerja, kerbau disawah juga bekerja. Kalau hanya jadi produk presisi dengan tingkat produktivitas yang tinggi, apa bedanya dengan mesin di pabrik-pabrik. Kalau hanya jadi cecunguk pengejar indeks gelar berkedok prestasi dan kualitas diri , buat apa sekolah tinggi. Lalu mencari jawaban sendiri adalah keputusanku paling dini. Ternyata perguruan tinggi hanya sebutan, yang meninggikan ilmu bukan perguruannya. Tapi individu yang sedang menimba ilmu itu sendiri. Aku merasa 'tinggi' karena aku berusaha memposisikan diriku tinggi dari yang lain. Dalam artian sebanyak apa yang aku dapat dari pencarianku. Dan tanggung jawabku untuk meneruskannya ke orang lain. Ilmu bukan pencapaian pribadi, ilmu adalah tanggung jawab yang dititipkan Tuhan untuk dibagikan orang lain. Ilm

Salah Sangka

Realita itu getir. Sekarang hiperbolaku menjadi dosa. Aku selalu menghiperbolakanmu. Memutar logika, menemukan kata lalu merangkainya menjadi nada yang setidaknya pantas dibaca. Kata orang yang membaca tulisanku, aku sok puitis. Kepuitisan itu tak nampak dari tingkah laku bahkan raut muka. Namun mereka tak tahu aku belajar puitis. Kalau tak mengharap perasaanmu mana mungkin aku berpuisi dengan tema yang sangat hiperbolik.  Kalau kau rutin membaca tulisanku, berpikirlah. Tulisan ini perlu kau baca dua tiga kali. Yang tertulis hanya permukaannya, pemaknaan tetap aku dan Tuhan yang paling mengetahuinya. Tapi setidaknya, jangan sekali lewat. Itupun kalau kau mau dan sempat. Tulisanku hanya memaksaku yakin kau benar-benar menaruh rasa padaku. Itupun karena kubaca juga tulisanmu. Kukira melalui tulisan kita bisa mensingkronkan, saling membalas, mengharap dan mendoakan dalam diam. Ternyata semua hanya anggapan, aku terlalu naif. Ungkapan soal  saling membiarkan dan bertahan rupany

Kontradiksi.

Tengah malam, aku menulis. Untukmu dan jalan juangmu. Kemarin kulihat pipimu memerah, entah itu riasan atau sikap malu karena frekuensi yang dulu sudah hilang dan terasa canggung kembali, tapi tak kupikirkan lagi itu.  Aku tetap melihatmu penuh keteraturan, tertata rapih dalam mencapai tujuan. Kau selalu mempertahankan kesempurnaan. Dan gambaran itu tak pernah lepas darimu. Aku tak melihat pola, aku hanya melihat konsistensi. Aku melihatmu hidup di kertas putih. Yang setiap hari kau tulis dengan teori hidupmu dan proyeksi masa depanmu. Sementara itu, bagiku guru terbaik adalah momen. Aku memilih untuk mengejar warna. Mencari makna. Melihat dari perspektif yang tak bisa orang bayangkan tentang suatu hal. Aku mengkalkulasikan ketidakteraturan. Merangkumnya menjadi hal yang ringkas. Lalu mengkorelasikannya dengan kehidupan. Karena itu aku belajar semua dan aku bebas. Aku tinggal dengan imajinasi yang liar dan idealisme yang merangsek ingin keluar. Aku jatuh karena mengambil

Tenggat

31 Maret 2018 Maaf aku sibuk. Aku baru merasakan, rutinitas bisa jadi sangat mencekam. Memakan zona nyaman. Mengunci jati diri. Sementara manusia hanya suka menjustifikasi hasil. Tak pernah perduli proses dan progres. Ramalanku sudah jauh hari berhasil. Ketika beberapa bulan yang lalu aku prediksikan lembaranku akan sangat hitam dan putih. Aku memunafikkan diri, karena bagiku itu mesti. Kalau tidak, sudah kutinggalkan sesuatu yang fana ini. Begitu juga tentangmu, aku yakin kita sudah sama sama lupa. Dan saling bersalah sangka, bahwa tulisan-tulisanku ini kau rasa bukan untukmu. Karena belakangan ini aku tak pernah melakukan sesuatu. Tak bicara apalagi bertemu. Sama denganku, rutin membaca tulisanmu sudah bukan rutin lagi. Menyempatkan saja kadang tak sempat. Jadi kuserahkan perasaan ini kepada pemilik rasa. Entah jadi apa kedepannya, urusan Dia. Karena tenggat ini memisahkanku denganmu. Aku benci tenggat.

Repetisi

19/02/2017 Perihal pengulangan, di tengah hutan. Aku tumbuh, kau pun begitu. Kita saling berubah dan sama-sama berharap saling mengubah. Melalui ritme-ritme yang selama ini kupadukan dalam suatu catatan, kita stagnan. Fluktuasi yang kita harapkan hanya angan. Kita memutar sesuatu yang sudah basi, agar enak dipakai kembali. Dan begitu seterusnya. Sampai sama-sama memberanikan diri atau menyerah. Namun, pilihan kita bertahan.  Dalam bertahan itu entah kenapa tak terasa memuakkan. Mendaur ulang topik pembicaraan tetap terasa nyaman. Basa-basi yang sudah sangat basi pun tak terpaksa kita telan. Kepemilikan pun tak pernah kita pikirkan. Hanya keputusan naif atas percayanya kita berlabuh di satu tambatan. Aku yakin kita sama-sama percaya, kita berada di tengah ketidakmungkinan yang hampir absolut. Tidak ada jaminan, namun membiarkan dan tetap bertahan. Dan pada akhirnya kita tetap dalam pola yang sama. Jatuh hati dalam repetisi.

Pergi Sejenak.

21/01/2018 Tulisanku semakin membumi. Sadar tak sadar kita hidup dalam monotonisme yang tinggi. Menghilangkan jati diri, bermuka banyak dan entah kenapa kita berorientasi pada mayoritas. Mengikuti arus utama dan terseret entah kemana. Karakter dibunuh social media, mengesankan orang lain lebih penting daripada menikmati hidup sendiri. Kesana kemari, untuk eksistensi. Dikampus selalu ada persoalan yang entah kenapa semenjak bangunan berdiri dan baru rampung proses awal administrasi tak pernah usai, anehnya persoalan diturun-temurunkan, dipermasalahkan lalu ditinggalkan, kemudian dibebankan kepada yang sedang memegang jabatan. Yang peduli berlebih digolongkan aktivis, yang tak peduli digolongkan apatis. Selalu ada dinding pemisah, antara manusia dan manusia lain. Lucunya, kita senang digolongkan dan merasa bergolongan. Merasa bangga karena punya pendirian. Katanya. Di luar kampus , Muda-mudi selalu berselisih perihal cinta, itu-itu saja bahasannya. Bergalau-galau ria, la

Di Sudut Kafe

06/01/2018 Semua tempat untuk meneguk kopi dan mengendap rindu. Bisa kusebut kafe. Tentu saja kafe versiku. Hari-hari kini berjalan begitu padat, semua terasa singkat. Jogja sudah terasa mendekati metropolitan, penuh dengan ambisi yang berdesakan, kehilangan keramahan. Pendatang tidak tertular kearifan, malah termakan individualisme dan cenderung saling membiarkan. Tujuan Jogja untuk saling mendekatkan malah justru sekarang membedakan, mengkotakkan. Mungkin karena, masing-masing punya tujuan. Namun aku masih yakin, bubuk kepositifan masih pekat di Jogja. Tinggal diseduh dengan takaran yang pas, dan disuguhkan dengan penuh senyuman. Dengan begitu, Jogja takkan pernah terlupakan dan selalu berkesan. Ada salah satu sudut yang paling kufavoritkan di Kota Pengendap Rindu ini. Di sudut kafe favoritku, dengan satu bangku dan meja yang hanya pas untuk satu orang. Bangku yang menghadap ke arah barat, dan jika matahari jatuh di ufuk sana. Mataku dengan jelas dapat menangkap senja. S

Sebuah Memo Yang Kau Ukir

02/01/2018 Lembar kedua. Di satu memo panjang berjudul 2018. Bagi mereka sesuatu yang baru, Bagiku sama pun tak apa. Jutaan momen yang kuukir di memo sebelumnya kini sudah kadaluarsa. Dan kubukukan bersama memo-memo lain yang pernah kutulis diwaktu-waktu yang sebelumnya, akan kujadikan referensi. Dalam mengukir ukiran baru dalam memo kali ini. Di memo kali ini aku yakin, ukiranku akan semakin semrawut. Dengan banyak sobekan dan coretan. Banyak pengoreksian dan justifikasi orang yang memaksa ingin mengukirkan pikirannya di memoku. Banyak warna yang akan hilang, dan berubah menjadi hitam putih penuh keteraturan. Percikan warna yang dulu aku lukis akan sirna, dan kurasa takkan ada lagi warna-warni itu. Karena itu aku rindu ukiranmu, waktu kupersilahkan kamu mengukir ukiran dalam memo yang lalu. Dengan percikan warna dan tujuh kata yang kamu ukir dengan tinta hitam itu. Aku hidup sampai selesai tenggat waktu penulisan memo yang lalu. Dengan semangat, sampai semua telah berla